RSS

Atmosfer Elegi Dalam Serenada



Purnama, kini kian menjadi saksi bisu.
Dan bila Purnama dapat berbicara, aku yakin dia akan turut merasakan kesedihanku, entahlah apa yang membuatku bertahan dengan dentuman besar ini.

Desah angin malam yang bergulir sama sekali tak menyurutkan niatku untuk tetap berdiri di depan rumah. Entah apa yang sedang ku alami, aku merasakan sesuatu—yang bisa ku simpulkan, aku kangen.
            Perasaan itu kian menjadi ketika memori ingatanku kembali berputar. Serasa berjuta macan menerkam hatiku, mencekikk, manggigit tiada akhir. Sakit sekali.
Sakitnya memang di hati, tapi efeknya menyebar ke seluruh penjuru jasmaniku. Inginku berteriak sekerasnya, menangis sebebasnya. Tapi apa daya, aku tak bisa. Sakit itu hanya dapat membukamku dalam sepi.
            Sesungguhnya, aku telah mengetahui isi hatinya dari awal. Dia sama sekali tak mencintaiku. Aku yang selalu memaksanya. Namun tak pernah aku sangka, hal buruk itu terulang kembali kedua kalinya.
--
            Aku memanggilnya Naga, cowok yang menurutku mempunyai berbagai talenta yang cukup membanggakan itu, dapat membuatku kembali tersenyum setelah sekian lama diriku terbelenggu dalam cinta masa lalu.
Ia merupakan salah satu senior di mana tempatku kini bersekolah, namun yang aku salut darinya, Naga adalah anggota Komisi Disiplin yang di takutti semua siswa di SMA, dapat bersikap profesional ketika tidak dalam kegiatan. Itu sangat berbeda dengan seniorku yang lainnya. Mungkin itu salah satu alasan, mengapa aku menyukainya.
--
            Pesona senja membentang, jingganya merona di puncak langit, suasana yang mendukung untuk mencari inspirasi segar. Aku yang gemar membuat puisi segera mengambil secarik kertas untuk mencatat segala inspirasi yang tertuang.
Perlahan senja itu menghilang, perlahan namun pasti. Dalam perjalannya menghilang jejaknya mengingatkanku kepada seseorang. Ya, Naga.
Tak sadar aku melukis raut tampannya di secarik kertas yang tersisa. Kini aku mulai merasa dewa cinta sedang bersemayam di hatiku.
--
            Waktu terus bergerak, walaupun nyata abstraknya, aku dapat merasakan magnet kedekatanku dengan Naga mulai menyempit. Setiap pulang sore Naga selalu bersamaku. Mungkin karena memang jalur pulang kami sama. Tak jarang dia menceritakan tentang kisah cintanya.
            “Da, kamu tahu Nada tidak? Sekelas denganmu bukan?” Tanyanya mengagetkanku.
            “Nada?  Senandung Nada maksudnya?” Jawabku ragu.
            “Iya, betul banget, Senandung Nada lengkapnya. Dia anaknya gimana sih di kelas?” Sahutnya penuh semangat.
            “Nada di kelas baik kok, ramah. Humoris juga. Dia pengen jadi kaya kamu Ga, jadi Dewan Komisi Disiplin.” Jawabku jujur.
            “Wah, hebat dong. Dia bisa marah sih? Mukannya manis banget gitu bisa marah? Gak yakin deh Da!”
            “Ah, kamu gak tahu sih, dia ngotot banget anaknya. Dia itu lebih galak dari kamu Ga. Kamu aja yang tampangnya gitu bisa marah, apa lagi dia? Kenapa sih Ga? Naksir ya?” Jawabku hanya bergurau.
            “Iya Da, aku naksir dia deh kayanya. Setiap istirahat pasti aku sempatin ke kantin, cuma biar bisa lihat Nada nongkrong. Dia manis banget asli, kamu nyadar gak sih punya temen se-manis dia?” Katanya panjang lebar.
            Degggg, ahh serasa ada jarum menusuk hatiku bertubi-tubi, terus dan terus hingga air mataku mulai menetes tiada akhir. Ya, aku pun terisak di sisi Naga, sungguh memalukan.
            “Loh, kamu kenapa Da? Kok malah nagis bombay gitu, cemburu ya aku naksir Nada? Hahahaha.” Tanyanya penuh tawa.
            “Ihh, pede kamu. Enggak! Aku jadi inget mantanku waktu ngejar-ngejar aku.” Jawabku mengelak.
            Oh Tuhan, andai saja dia mengetahuinya. Iya, aku sakit mendengar ucapanmu itu Ga. Aku terlalu banyak berharap darimu. Ma’afkan aku ya, aku akan berusaha menghilangkan perasaan konyol ini. Batinku.
--
Gelap, itulah yang aku lihat saat ku buka jendela kamarku, apakah fajar masih terlelap? Mungkinkah aku bangun terlalu pagi? Atau cuaca yang sedang tak bersahabat? Entahlah, aku tak tahu pasti, yang kutahu, aku sangat bersemangat pagi ini.
Untuk pertama kalinya ada cowok yang mentraktirku ke sebuah resto ternama sebelum akhirnya nanti, kita ke toko buku. Dia tak lain Naga, ini merupakan formalitas perpisahan sementara, karena Naga akan mengikuti Lomba Olimpiade Matematika Tingkat Nasional.
Kemunculanya bak sang raja memasuki ruangan. Hening suasana itu seketika, mengambil semua perhatian agar tertuju padaku, anak cowok yang terkenal galak itu duduk persis di depanku. Kurasakan pandangan orang-orang di sekitarku tertuju padanya. Tapi pandanganya hanya tertuju padaku. Ada rasa hangat yang menjalar di nadiku, mengendap di hatiku. Kekaguman yang luar biasa muncul saat itu. Dan tanpa pertanda, perasaan itu kembali menggebu.
Tak menyangka dia akan hadir dengan sejuta pesona yang terlihat sangat alami. Oh Tuhan, teguhkan pendirianku untuk tetap menghilangkan rasa cintaku.
            “Kenapa pasang muka bengong? Aku cakep ya Da? Hahahaha..”
            “Iya, kamu kok jadi cakep ya? Bukannya kemarin dekil banget? Rendam di air susu kental manis ya semalam? Hahaha..”
            “Ih, sembarangan deh kamu Da. Aku emang dari sanannya cakep. Dokter yang bantu Bundaku melahirkan aja naksir aku. Nunggu aku sampai gede, terus katanya mau nikahin aku sama anaknya. Hahaha..”
            “Alaaaaee, dasar penyakit ke-pedeannmu emang sudah bawaan lahir. Sudah sana, pesen makan abis itu kita langsung cabut ke toko buku.” Protesku
            “Dasar Tembem bawel. Iya, ahh. Tunggu bentar ya.” Jawabnya sembari mencubit pipi unyuku.
--
Hari setelah kejadian itu telah berlalu, dadaku masih terasa nyaman oleh rindu akan tatapan hangatnya.Naga tak kunjung menghubungiku. Sungguh tak semangat meneruskan tugas yang semakin lama semakin bertambah. Entah aku sekadar jenuh atau memang dirinya telah membiusku.
Nyingg.. bunyi halus dari messenger itu mengagetkanku, ya itu Naga. Rasa bahagia yang tak terbendung akhirnya meluap melalui senyum kecilku.Tak dapat diungkapkan secara persis betapa berartinya dia di hidupku. Rasa cinta itu kini memang tak dapat dilenyapkan.
Hello Da? Gmn kbrmu di situ, ak bru aj chek out  dri hotel. Sori y bru smpt sms, dri kmrn Mr.Han gk ngijinin ak otak atik hape, sruh fks katny. Soal olimpiadenya gk susah bngt. Smg bs tmbs. Aminn. Eh,si Nada gmn skrng? Tmbh ckp y? 3 hri gk liat dia, mtaku krng. Hahaha :D
            Huh, kenapa dia harus menanyakan Nada? Gak penting kali Ga, dia sudah punya cowok.
            Iy, ak baik2 aj. Pnts aj dri kmrn ak nungg sms km gk ad. Trnyt Mr.Han pelit yakk. Sebl loh. Amin deh, ak doain tembuss Ga. Nada baik kok, dia tmbh putih. Dan satu lg dia udh pny cwk. Jd lg bahg dia. Km jug bahgia kn?
            Semoga smsku dapat menyadarkan Naga. Kalau ada aku di sini yang sealu menantinya, bukan Nada.
            Hah??? Dia pny cowo?? Ggl dong ak nmbk dia. Ak mau nmbak sepulang dri sini Da. Astaga Da, ancur bngt htiku. Hikss. Aku udh terlnjr cinta brt ke dia! L
            Hah? Cinta berat? Tuhan, semoga diri ini salah baca. Aku kembali membacanya. Dan ternyata benar. Naga sudah terjerat cinta dengan Nada.
Egokah aku Tuhan, bila aku menginginkan Naga sebagai pelindungku?
--
            Raut mukannya suram, tak ada sedikit pun secercah sinar yang mengelilingi raganya. Auranya pun terlihat menyepi, tiada semangat sama sekali.
Dan aku mengetahui sebabnya, Nada. Naga benar-benar menunjukan muka datarnya di setiap tempat. Entah hanya ingin mendapat perhatian atau apa pun itu aku tak mengerti. Dan herannya ini adalah hari pengumuman di mana namanya tercantum di daftar tiga besar Olimpiade Matematika, dan bisa-bisanya dia tak menampakan kebahagiannya itu.
            “Mukannya kenapa ditekuk gitu sih?  Gak cakep tahu! Kamu gak seneng dapat juara 3? Namamu sudah ditempel tuh di mading SMA. Senyum dong.” Sapaku.
            “Gimana gak ditekuk, liat tuh! Nada mesranya pakai banget.
Huft, iya aku sudah tahu. Trims do’anya aku jadi dapat juara.” Jawab Naga sembari merangkulku.
            “Kan emang mereka pacaran Ga, biasa kali kalau kaya gitu. Syiriknya jangan berlebihan deh.” Ucapku menyindir.
            “Salah aku cemburu? Kenapa sih kamu itu gak suka kalau aku lagi bahas Nada. Kamu sahabat aku kan, ngerti dong perasaan aku. Sudah tahu juga aku cinta mati ke Nada. Heran, gak usah sok gitu deh Da.” Jawabnya kasar.
            “Hah? Apa maksudnya bilang aku sok? Aku Cuma mau hibur kamu doang. Oke deh, aku gak komentar apa-apa lagi. Asal kamu tahu aja ya, aku itu suka kamu Ga, tapi apa kamu ngerti? Gak kan? Egois kamu Ga!” Kataku sembari meninggalkan Naga.
--
            Air mataku menetes tiada akhir.  Setiap kali ku mencoba mengusapnya, saat itu juga air mata itu semakin berderai indah. Beribu kunang-kunang serasa melayang bebas di kepalaku. Pening sekali.
Ku rasa tadi adalah sebuah pengakuan bodoh yang tak patut ditiru siapa pun. Bagaimana tidak? Aku sudah berjanji untuk melupakan perasaan itu, telah ku jaga perasaan itu agar tak terbongkar. Namun apa yang ku lakukan? Aku merusak semua itu! Aku benci diriku.
--
From               : Andhika Naga Panuntun
To                    : Serenanda Putri T.
Subject             :I’m sorry
Nanda? Kok ganti nomor gak bilang si? Knpa km ngehindar dri ak? Msh mrh ya soal Nada ma’af deh.
Aku tersenyum sinis. E-mail itu sudah cukup lama, dan berikut-berikutnya dikirimkan beberapa hari sekali. Aku membuka yang lainnya.
From               : Andhika Naga Panuntun
To                    : Serenanda Putri T.
            Subject             :Da?
Da? Km skit y? Td aku ke kelasmu. Malah kmunya gak ada. Nanda? Ak bingung hrs mint mf kaya ap biar km mfn ak. Ya ak tau ak egois. Ak syang km Da.
Kenapa kamu pakai kata sayang segala Ga. Aku tahu itu tak sesuai isi hatimu. Jangan bohongin hatimu Ga, batinku.
From               : Andhika Naga Panuntun
To                    : Serenanda Putri T.
Subject :           : Please datang
Hufft, aku tau lah ak salah. Sori Da. Emm, km mau gak jadi ceweku? Bsk aku tungg kamu y di taman kota. Dateng ya kalo kamu mash anggep aku ad.
            “Pacarmu? Gak salah? Iya, besok aku datang.” Ucapku lirih.
--
            Suasana sore ini, membuatku merasa enggan beranjak dari bangku yang tersedia di Taman kota ini. Seakan kursi itu menjeratku agar tetap menikmati serenada cinta.     “Da? Kamu datang?” suarannya tiba-tiba terdengar, Naga.
            “Aku masih menganggapmu ada. Kenapa kau menyuruhku ke sini?” Kataku to the point   
            “Aku ingin kamu jadi ceweku, walau sekarang aku belum mencintaimu seutuhnya, tapi aku mohon kasih aku kesempatan.” Lirihnya.
            Aku terdiam., Hatiku berbunga, senang rasanya saat mendengar ucapannya. Bangku tempatku duduk adalah saksi bisu atas kejadian ini. Seakan berada di negeri dongeng, dan aku berperan sebagai Putri kerajaan yang dijemput oleh sang Pangeran saat kesedihan melandaku.
            “Da? Diam? Jawab Da.” Suarannya kembali membuyarkan lamunanku.
            “Iya, aku mau Ga. Manfa’atin kesempatan ini ya.” Jawabku sembari tersenyum.
--
            Satu tahun setelah eforia kejadian itu mulai gugur. Hubunganku dengan Naga sama sekali tak ada perubahan.Siang ini, aku mengajaknya bertemu di ruang musik SMA. Tidak seperti biasanya Naga tak menebar senyum. Dia meletakan ransel dan duduk dingin di sampingku. Dia menatapku dalam, tatapannya serasa menuju langsung ke hatiku. Aku curiga, ini pasti ada hubungannya dengan apa yang ingin ku bicarakan sekarang.
            “Ga, kemarin aku gak sengaja buka akun facebook kamu, ma’af banget yah sudah gak sopan. Tapi aku sedih membaca pesan di akunmu itu. Ya, kata sayang itu.” Ucapku menahan tangis.
            “Eee, kata sayang yang mana Da?’ Jawabnya terkesan dibuat-buat.
            “Sudahlah, jangan berbohong lagi. Aku sudah letih, aku gak nyangka selama ini, hubungan kita hanya sandiwara.” Isakku melayang.
            “Soal itu, ma’af Da. Aku gak bermaksud...”
            “Kamu tega Ga!” Jawabku singkat sembari meninggalkan Naga.
Air mata itu pun meluncur bebas tak terkendali. Isak tangisku mengencang, tak peduli siapa yang akan mendengarnya. Ingin aku tunjukan pada siapa saja yang ada, bahwa hatiku kecewa.
--
            Sampai di rumah, dengan muka tertekuk. Aku langsung masuk kamar, bantingan pintu terdengar meruak ke seluruh ruang rumah. Badan kulempar terlentang di atas kasur busa. Mataku menatap langit-langit, gelap mewarnai seluruh pikiranku. Ragaku melemas, tak ada tenaga se-persen pun yang tersisa. Aku kecewa, aku marah. Bukan marah kepada Naga, melainkan kepada diriku sendiri. Bukannya aku sudah mengetahui isi hatinya, mengapa aku masih berharap lebih. Kini dayaku melemah. Aku telah rela melepas Naga dari palung hati. Namun bukannya gembira telah bisa merelakan Naga, ada rasa nyeri yang aneh berkelompok di dadaku.
--
            Kini aku putuskan untuk mengakhiri hubungan pedih itu, aku telah pindah sekolah. Bukan untuk menjauhi Naga, namun mengikuti tempat di mana kedua orang tuaku bekerja.
Sebelum aku menghilang dari hidupnya, aku mengirimkan sebuah puisi yang aku titipkan kepada sahabatku untuk Naga. Aku berharap dia bisa mema’afkan diriku, yang pergi meninggalkannya.