Renardi
Fami, itu namaku. Akrab dipanggil Ardi. Dan Renardo Fami adalah Abangku, aku
memanggilnya Ardo.
Kembar?
Iya, kami kembar, kembar dalam semua hal. Selera, model pakaian gaya baju, gaya
rambut, dan tipe cewek yang kami taksir hampir selalu sama. Kecuali sayuran
laknat itu, Genjer! Aku sangat takut yang namanya sayur Genjer entah mengapa.
Di pikiranku Genjer itu adalah monster yang siap menginjak manusia yang tak
berdaya, salah satunya aku. Dan sayuran laknat itu adalah kesukaan Abangku.
Abangku yang tak lain adalah Ardo ini, sangat suka yang namanya tumis Genjer,
dan anehnya setelah makan sayuran kesukaannya itu, dengan tanpa dosanya ia
pasti mengeluarkan gas yang mungkin tak beracun namun bisa bikin orang ngomel
tiada henti. Herannya dia tak pernah malu kentut di muka umum, seperti di halte,
di jalan, dimanapun ia berada, bisa aku pastikan Ardo akan kentut dengan bergembira
ria, setelah ia makan sayur Genjer itu. Sering aku menanyakan mengapa Ardo
sangat suka kentut di muka umum, dan dengan santainya dia menjawab, “Kentut itu
seni Di, harus dilestarikan”. Dia benar-benar gak sadar diri, kentutnya bisa
100% menurunkan tingkat kepedean orang di sampingnya.
--
Pernah
waktu itu, pertama kali Bunda mengajak kami ke pesta pernikahan kawannya. Kami
berdandan couple, berpakaian sama,
sepatu sama, dan kacamatapun sama. Hingga kami sangat sulit dibedakan, kecuali
sama Bunda.
“Bang,
nanti jangan pakai acara ngentut segala ya, aku takut orang di pesta mengira
aku yang membuang gas tak beracun itu tanpa tanggung jawab?”
“Entahlah
Di, itu kehendak Tuhan. Masa sih aku ingin kentut harus aku tahan? Kau tega
melihat Abangmu yang cakep ini pingsan nahan kentut? Aku itu punya perasaan Di,
aku gak tega menjarain kentutku sendirian di labirin pembuangan.”
“Penjarain
kentutmu sebelum kentutmu menjarain aku Bang! Kentut lebih kejam dari
pembunuhan! Kentutmu itu bisa bikin orang mati perlahan. Please Bang. Jangan keluarkan jurus terakhirmu yang bisa membuatku
mati kaku. Oke!
--
Di mobil
Ardo sudah menunjukan gejala-gejala erupsi kentutnya. Geser sana, geser sini,
sandaran sana, sandaran seni, tengak-tengok gak jelas, itu merupakan
gejala-gejalanya.
Dan
instrusi kentutpun keluar. Tak ada bunyi sama sekali, gemuruh juga tak ada.
Namun kentut itu berhasil menjadi polusi udara yang membuat Mang Nanang sopir
kami keluar mobil untuk muntah! Itulah kehebatan Abangku. Tak perlu senapan
mahal untuk membunuh musuh, dengan kentutnya, aku yakin musuh bakal
klepek-klepek tak berdaya. Harusnya Abangku hidup di masa penjajahan,
mengalahkan penjajah dengan kentut originalnya.
--
Di pesta
pernikahan kawan Bunda, entah khilaf atau kelaparan, Ardo makan apa saja yang
disuguhkan di meja resepsi. Banyak, bahkan terlampau banyak. Dia mungkin lupa
akan rekornya menjadi tukang kentut terparah di kelas.
Tiba-tiba
Ardo memanggilku, dan memintaku menemaninya ke toilet. Dan saat kami berjalan,
“Druuuuuuuuttttttttt”. Kini bukan instrusi lagi. Ini merupakan ekstrusi kentut
bahkan dentuman kentut yang luar biasa. Dan, jeng..jeng..jeng, sesaat semua
mata tertuju padaku. Tatapan penuh intimidasi diberikan seluruh hadirin pesta.
Aroma
sayur Genjer busuk itu seakan bersumber dari diriku, si phobia Genjer.
Aku
memandang lemas ke arah mata Abangku, pandangan penuh amarah. Tidak dapat
didefinisikan betapa kentut Abangku itu merusak suasana damai pesta pernikahan.
Itu yang
membuatku kembali ke mobil, duduk di jok paling belakang. Jok si phobia Genjer, aku tahu
bahwa aku ini adalah seorang phobia
sayur, yah mau bagaimana lagi, aku sangat benci dan takut dengan sayuran yang
bernama Genjer.
Mereka mungkin menatapku dengan alasan akulah
sumber bau busuk sayuran itu.
Mungkin Bunda pernah bercerita bahwa salah satu anaknya penggemar sayur Genjer
dan akan mengeluarkan gas tak beracun sesudah memakan sayuran itu. Seketika
bayangan Genjer muncul di depanku. Meringis takut,
takut karena memang aku seorang phobia.
Benci, benci karena aku tak bia melakukan apa–apa. Yang bisa aku lakukan adalah menangis sendiri
di mobil dengan rasa marah.
--
Hari ini
cuaca memang benar-benar tak bersahabat. Suram, penuh dengan tinta hitam di
awan. Seperti biasa, aku dibangunkan oleh dentuman kentut Abangku yang mungkin
telah menembus ruang dan waktu. Walaupun telah banyak tetangga yang protes
dengan dentuman kentut itu, herannya, dengan pedenya Abangku masih tetap
melaksanakan kebiasaan itu setiap hari. Gak tahu yang akan terjadi bila kelak
ia menikah, mungkinkah istrinya harus terus-terusan menutup hidung setiap hari?
Mungkin itu bakal terjadi hingga ada toko yang menjual masker permanen, yang
menutupi selalu hidungnya.
Kejadian
semalam itu masih membekas di palung hati yang paling dangkal. Kata ma’af
selalu Ardo lemparkan menuju mukaku, dan alhamdulilah, sama sekali tak
menyenggol mukaku. Alias belum aku ma’afin.
“Di,
ma’afin Abang ya, semalam Abang gak ada niat untuk mempermalukan dirimu. Oke
deh, terserah kamu mau minta apa. Pasti Abang turutin.”
“Hilangkan
phobiaku terhadap Genjer selama 3
hari!”
Jawabanku
mungkin susah diterima, menghilangkan phobia
itu tidaklah mudah. Namun aku berharap Abang bisa menuruti permintaanku.
--
Abang
ternyata benar-benar ingin menembus kesalahanya.
Hari
pertama, ia memberikanku beberapa jurus melawan phobia, mendengarkan kentutnya salah satunya. Anggap kentut itu
sebuah anugerah yang dapat melindungi diriku. Setiap aku ketakutan ingatlah
kentut Abang yang selalu melindungiku. Negatif kali postif adalah negatif. Bau
kentut di lawan bau segar Genjer, akan lebih dominan bau kentut. Sehingga
Genjer dapat ditaklukan dengan jurus kentutzers.
Hari
Kedua, Abang masih memberikan teori, jika bayangan monster Genjer berada di pikiranku,
segera bayangkan bahwa kentut Abang seperti jurus yang dikeluarkan di film Power Rangers, yang langsung membunuh
monster Genjer.
Dan hari
ketiga, saatnya percobaan. Abang membawakanku seikat sayur Genjer. Seketika
rasa percaya diri luntur dimakan keringat.
Ayo
Ardi, ingat teori pertama. Bayangkan kentut Ardo ada di sini menyelamatkanmu,
keluarkan jurus kentutzers!
Oh Tuhan
tak berhasil. Teori kedua, Bayangkan kentut Ardo adalah jurus ampuh Power Rangers yang dapat seketika
membunuh monster Genjer.
Akhirnya, berhasil!
Aku bisa
memegang Genjer tanpa rasa takut sedikitpun. Anggapanku salah, Genjer tak
seburuk monster di pikirkan. Genjer sama sekali tak seperti monster. Dia hanya
sayuran biasa.
--
Semenjak
kejadian itu, aku mema’afkan Abang. Hubungan kami semakin lengket, kini aku
juga ikut menggila mengatakan kentut itu anugerah, dan jika kata Afgan
“Senyummu mengalihkan duniaku”, kataku “Kentutmu mengalihkan duniaku”.
*ada persamaan nama nih sama temen gue, hahaha
NN
0 komentar:
Posting Komentar