RSS

Atmosfer Elegi Dalam Serenada



Purnama, kini kian menjadi saksi bisu.
Dan bila Purnama dapat berbicara, aku yakin dia akan turut merasakan kesedihanku, entahlah apa yang membuatku bertahan dengan dentuman besar ini.

Desah angin malam yang bergulir sama sekali tak menyurutkan niatku untuk tetap berdiri di depan rumah. Entah apa yang sedang ku alami, aku merasakan sesuatu—yang bisa ku simpulkan, aku kangen.
            Perasaan itu kian menjadi ketika memori ingatanku kembali berputar. Serasa berjuta macan menerkam hatiku, mencekikk, manggigit tiada akhir. Sakit sekali.
Sakitnya memang di hati, tapi efeknya menyebar ke seluruh penjuru jasmaniku. Inginku berteriak sekerasnya, menangis sebebasnya. Tapi apa daya, aku tak bisa. Sakit itu hanya dapat membukamku dalam sepi.
            Sesungguhnya, aku telah mengetahui isi hatinya dari awal. Dia sama sekali tak mencintaiku. Aku yang selalu memaksanya. Namun tak pernah aku sangka, hal buruk itu terulang kembali kedua kalinya.
--
            Aku memanggilnya Naga, cowok yang menurutku mempunyai berbagai talenta yang cukup membanggakan itu, dapat membuatku kembali tersenyum setelah sekian lama diriku terbelenggu dalam cinta masa lalu.
Ia merupakan salah satu senior di mana tempatku kini bersekolah, namun yang aku salut darinya, Naga adalah anggota Komisi Disiplin yang di takutti semua siswa di SMA, dapat bersikap profesional ketika tidak dalam kegiatan. Itu sangat berbeda dengan seniorku yang lainnya. Mungkin itu salah satu alasan, mengapa aku menyukainya.
--
            Pesona senja membentang, jingganya merona di puncak langit, suasana yang mendukung untuk mencari inspirasi segar. Aku yang gemar membuat puisi segera mengambil secarik kertas untuk mencatat segala inspirasi yang tertuang.
Perlahan senja itu menghilang, perlahan namun pasti. Dalam perjalannya menghilang jejaknya mengingatkanku kepada seseorang. Ya, Naga.
Tak sadar aku melukis raut tampannya di secarik kertas yang tersisa. Kini aku mulai merasa dewa cinta sedang bersemayam di hatiku.
--
            Waktu terus bergerak, walaupun nyata abstraknya, aku dapat merasakan magnet kedekatanku dengan Naga mulai menyempit. Setiap pulang sore Naga selalu bersamaku. Mungkin karena memang jalur pulang kami sama. Tak jarang dia menceritakan tentang kisah cintanya.
            “Da, kamu tahu Nada tidak? Sekelas denganmu bukan?” Tanyanya mengagetkanku.
            “Nada?  Senandung Nada maksudnya?” Jawabku ragu.
            “Iya, betul banget, Senandung Nada lengkapnya. Dia anaknya gimana sih di kelas?” Sahutnya penuh semangat.
            “Nada di kelas baik kok, ramah. Humoris juga. Dia pengen jadi kaya kamu Ga, jadi Dewan Komisi Disiplin.” Jawabku jujur.
            “Wah, hebat dong. Dia bisa marah sih? Mukannya manis banget gitu bisa marah? Gak yakin deh Da!”
            “Ah, kamu gak tahu sih, dia ngotot banget anaknya. Dia itu lebih galak dari kamu Ga. Kamu aja yang tampangnya gitu bisa marah, apa lagi dia? Kenapa sih Ga? Naksir ya?” Jawabku hanya bergurau.
            “Iya Da, aku naksir dia deh kayanya. Setiap istirahat pasti aku sempatin ke kantin, cuma biar bisa lihat Nada nongkrong. Dia manis banget asli, kamu nyadar gak sih punya temen se-manis dia?” Katanya panjang lebar.
            Degggg, ahh serasa ada jarum menusuk hatiku bertubi-tubi, terus dan terus hingga air mataku mulai menetes tiada akhir. Ya, aku pun terisak di sisi Naga, sungguh memalukan.
            “Loh, kamu kenapa Da? Kok malah nagis bombay gitu, cemburu ya aku naksir Nada? Hahahaha.” Tanyanya penuh tawa.
            “Ihh, pede kamu. Enggak! Aku jadi inget mantanku waktu ngejar-ngejar aku.” Jawabku mengelak.
            Oh Tuhan, andai saja dia mengetahuinya. Iya, aku sakit mendengar ucapanmu itu Ga. Aku terlalu banyak berharap darimu. Ma’afkan aku ya, aku akan berusaha menghilangkan perasaan konyol ini. Batinku.
--
Gelap, itulah yang aku lihat saat ku buka jendela kamarku, apakah fajar masih terlelap? Mungkinkah aku bangun terlalu pagi? Atau cuaca yang sedang tak bersahabat? Entahlah, aku tak tahu pasti, yang kutahu, aku sangat bersemangat pagi ini.
Untuk pertama kalinya ada cowok yang mentraktirku ke sebuah resto ternama sebelum akhirnya nanti, kita ke toko buku. Dia tak lain Naga, ini merupakan formalitas perpisahan sementara, karena Naga akan mengikuti Lomba Olimpiade Matematika Tingkat Nasional.
Kemunculanya bak sang raja memasuki ruangan. Hening suasana itu seketika, mengambil semua perhatian agar tertuju padaku, anak cowok yang terkenal galak itu duduk persis di depanku. Kurasakan pandangan orang-orang di sekitarku tertuju padanya. Tapi pandanganya hanya tertuju padaku. Ada rasa hangat yang menjalar di nadiku, mengendap di hatiku. Kekaguman yang luar biasa muncul saat itu. Dan tanpa pertanda, perasaan itu kembali menggebu.
Tak menyangka dia akan hadir dengan sejuta pesona yang terlihat sangat alami. Oh Tuhan, teguhkan pendirianku untuk tetap menghilangkan rasa cintaku.
            “Kenapa pasang muka bengong? Aku cakep ya Da? Hahahaha..”
            “Iya, kamu kok jadi cakep ya? Bukannya kemarin dekil banget? Rendam di air susu kental manis ya semalam? Hahaha..”
            “Ih, sembarangan deh kamu Da. Aku emang dari sanannya cakep. Dokter yang bantu Bundaku melahirkan aja naksir aku. Nunggu aku sampai gede, terus katanya mau nikahin aku sama anaknya. Hahaha..”
            “Alaaaaee, dasar penyakit ke-pedeannmu emang sudah bawaan lahir. Sudah sana, pesen makan abis itu kita langsung cabut ke toko buku.” Protesku
            “Dasar Tembem bawel. Iya, ahh. Tunggu bentar ya.” Jawabnya sembari mencubit pipi unyuku.
--
Hari setelah kejadian itu telah berlalu, dadaku masih terasa nyaman oleh rindu akan tatapan hangatnya.Naga tak kunjung menghubungiku. Sungguh tak semangat meneruskan tugas yang semakin lama semakin bertambah. Entah aku sekadar jenuh atau memang dirinya telah membiusku.
Nyingg.. bunyi halus dari messenger itu mengagetkanku, ya itu Naga. Rasa bahagia yang tak terbendung akhirnya meluap melalui senyum kecilku.Tak dapat diungkapkan secara persis betapa berartinya dia di hidupku. Rasa cinta itu kini memang tak dapat dilenyapkan.
Hello Da? Gmn kbrmu di situ, ak bru aj chek out  dri hotel. Sori y bru smpt sms, dri kmrn Mr.Han gk ngijinin ak otak atik hape, sruh fks katny. Soal olimpiadenya gk susah bngt. Smg bs tmbs. Aminn. Eh,si Nada gmn skrng? Tmbh ckp y? 3 hri gk liat dia, mtaku krng. Hahaha :D
            Huh, kenapa dia harus menanyakan Nada? Gak penting kali Ga, dia sudah punya cowok.
            Iy, ak baik2 aj. Pnts aj dri kmrn ak nungg sms km gk ad. Trnyt Mr.Han pelit yakk. Sebl loh. Amin deh, ak doain tembuss Ga. Nada baik kok, dia tmbh putih. Dan satu lg dia udh pny cwk. Jd lg bahg dia. Km jug bahgia kn?
            Semoga smsku dapat menyadarkan Naga. Kalau ada aku di sini yang sealu menantinya, bukan Nada.
            Hah??? Dia pny cowo?? Ggl dong ak nmbk dia. Ak mau nmbak sepulang dri sini Da. Astaga Da, ancur bngt htiku. Hikss. Aku udh terlnjr cinta brt ke dia! L
            Hah? Cinta berat? Tuhan, semoga diri ini salah baca. Aku kembali membacanya. Dan ternyata benar. Naga sudah terjerat cinta dengan Nada.
Egokah aku Tuhan, bila aku menginginkan Naga sebagai pelindungku?
--
            Raut mukannya suram, tak ada sedikit pun secercah sinar yang mengelilingi raganya. Auranya pun terlihat menyepi, tiada semangat sama sekali.
Dan aku mengetahui sebabnya, Nada. Naga benar-benar menunjukan muka datarnya di setiap tempat. Entah hanya ingin mendapat perhatian atau apa pun itu aku tak mengerti. Dan herannya ini adalah hari pengumuman di mana namanya tercantum di daftar tiga besar Olimpiade Matematika, dan bisa-bisanya dia tak menampakan kebahagiannya itu.
            “Mukannya kenapa ditekuk gitu sih?  Gak cakep tahu! Kamu gak seneng dapat juara 3? Namamu sudah ditempel tuh di mading SMA. Senyum dong.” Sapaku.
            “Gimana gak ditekuk, liat tuh! Nada mesranya pakai banget.
Huft, iya aku sudah tahu. Trims do’anya aku jadi dapat juara.” Jawab Naga sembari merangkulku.
            “Kan emang mereka pacaran Ga, biasa kali kalau kaya gitu. Syiriknya jangan berlebihan deh.” Ucapku menyindir.
            “Salah aku cemburu? Kenapa sih kamu itu gak suka kalau aku lagi bahas Nada. Kamu sahabat aku kan, ngerti dong perasaan aku. Sudah tahu juga aku cinta mati ke Nada. Heran, gak usah sok gitu deh Da.” Jawabnya kasar.
            “Hah? Apa maksudnya bilang aku sok? Aku Cuma mau hibur kamu doang. Oke deh, aku gak komentar apa-apa lagi. Asal kamu tahu aja ya, aku itu suka kamu Ga, tapi apa kamu ngerti? Gak kan? Egois kamu Ga!” Kataku sembari meninggalkan Naga.
--
            Air mataku menetes tiada akhir.  Setiap kali ku mencoba mengusapnya, saat itu juga air mata itu semakin berderai indah. Beribu kunang-kunang serasa melayang bebas di kepalaku. Pening sekali.
Ku rasa tadi adalah sebuah pengakuan bodoh yang tak patut ditiru siapa pun. Bagaimana tidak? Aku sudah berjanji untuk melupakan perasaan itu, telah ku jaga perasaan itu agar tak terbongkar. Namun apa yang ku lakukan? Aku merusak semua itu! Aku benci diriku.
--
From               : Andhika Naga Panuntun
To                    : Serenanda Putri T.
Subject             :I’m sorry
Nanda? Kok ganti nomor gak bilang si? Knpa km ngehindar dri ak? Msh mrh ya soal Nada ma’af deh.
Aku tersenyum sinis. E-mail itu sudah cukup lama, dan berikut-berikutnya dikirimkan beberapa hari sekali. Aku membuka yang lainnya.
From               : Andhika Naga Panuntun
To                    : Serenanda Putri T.
            Subject             :Da?
Da? Km skit y? Td aku ke kelasmu. Malah kmunya gak ada. Nanda? Ak bingung hrs mint mf kaya ap biar km mfn ak. Ya ak tau ak egois. Ak syang km Da.
Kenapa kamu pakai kata sayang segala Ga. Aku tahu itu tak sesuai isi hatimu. Jangan bohongin hatimu Ga, batinku.
From               : Andhika Naga Panuntun
To                    : Serenanda Putri T.
Subject :           : Please datang
Hufft, aku tau lah ak salah. Sori Da. Emm, km mau gak jadi ceweku? Bsk aku tungg kamu y di taman kota. Dateng ya kalo kamu mash anggep aku ad.
            “Pacarmu? Gak salah? Iya, besok aku datang.” Ucapku lirih.
--
            Suasana sore ini, membuatku merasa enggan beranjak dari bangku yang tersedia di Taman kota ini. Seakan kursi itu menjeratku agar tetap menikmati serenada cinta.     “Da? Kamu datang?” suarannya tiba-tiba terdengar, Naga.
            “Aku masih menganggapmu ada. Kenapa kau menyuruhku ke sini?” Kataku to the point   
            “Aku ingin kamu jadi ceweku, walau sekarang aku belum mencintaimu seutuhnya, tapi aku mohon kasih aku kesempatan.” Lirihnya.
            Aku terdiam., Hatiku berbunga, senang rasanya saat mendengar ucapannya. Bangku tempatku duduk adalah saksi bisu atas kejadian ini. Seakan berada di negeri dongeng, dan aku berperan sebagai Putri kerajaan yang dijemput oleh sang Pangeran saat kesedihan melandaku.
            “Da? Diam? Jawab Da.” Suarannya kembali membuyarkan lamunanku.
            “Iya, aku mau Ga. Manfa’atin kesempatan ini ya.” Jawabku sembari tersenyum.
--
            Satu tahun setelah eforia kejadian itu mulai gugur. Hubunganku dengan Naga sama sekali tak ada perubahan.Siang ini, aku mengajaknya bertemu di ruang musik SMA. Tidak seperti biasanya Naga tak menebar senyum. Dia meletakan ransel dan duduk dingin di sampingku. Dia menatapku dalam, tatapannya serasa menuju langsung ke hatiku. Aku curiga, ini pasti ada hubungannya dengan apa yang ingin ku bicarakan sekarang.
            “Ga, kemarin aku gak sengaja buka akun facebook kamu, ma’af banget yah sudah gak sopan. Tapi aku sedih membaca pesan di akunmu itu. Ya, kata sayang itu.” Ucapku menahan tangis.
            “Eee, kata sayang yang mana Da?’ Jawabnya terkesan dibuat-buat.
            “Sudahlah, jangan berbohong lagi. Aku sudah letih, aku gak nyangka selama ini, hubungan kita hanya sandiwara.” Isakku melayang.
            “Soal itu, ma’af Da. Aku gak bermaksud...”
            “Kamu tega Ga!” Jawabku singkat sembari meninggalkan Naga.
Air mata itu pun meluncur bebas tak terkendali. Isak tangisku mengencang, tak peduli siapa yang akan mendengarnya. Ingin aku tunjukan pada siapa saja yang ada, bahwa hatiku kecewa.
--
            Sampai di rumah, dengan muka tertekuk. Aku langsung masuk kamar, bantingan pintu terdengar meruak ke seluruh ruang rumah. Badan kulempar terlentang di atas kasur busa. Mataku menatap langit-langit, gelap mewarnai seluruh pikiranku. Ragaku melemas, tak ada tenaga se-persen pun yang tersisa. Aku kecewa, aku marah. Bukan marah kepada Naga, melainkan kepada diriku sendiri. Bukannya aku sudah mengetahui isi hatinya, mengapa aku masih berharap lebih. Kini dayaku melemah. Aku telah rela melepas Naga dari palung hati. Namun bukannya gembira telah bisa merelakan Naga, ada rasa nyeri yang aneh berkelompok di dadaku.
--
            Kini aku putuskan untuk mengakhiri hubungan pedih itu, aku telah pindah sekolah. Bukan untuk menjauhi Naga, namun mengikuti tempat di mana kedua orang tuaku bekerja.
Sebelum aku menghilang dari hidupnya, aku mengirimkan sebuah puisi yang aku titipkan kepada sahabatku untuk Naga. Aku berharap dia bisa mema’afkan diriku, yang pergi meninggalkannya.

My Best Friend



            I have best friend, Her name is Azizah Nayang Sasi Lahati, but you can call Her Nayang. She was born in Merauke on 14th of March . Now she is goes to State Senior High School of 1 Merauke.
            Nayang is a beautiful and smart girl. She has blonde hair an lit bit long and has brown eyes. Her face like Koren actress.
Nayang likes to see the sky, love play with cats, and yeah when she is in front of miror everyday she talk to the miror and speak with english. She always obbssesed with English. In the future, she want to work in Embassy. She said that it would be an amazing job.
            Then, Nayang always know about me. She always understand me. I know Her since ten years ago when i was in Merauke.
I’m very miss Her, I wish that someday, i can meet and sharing about our life together again.

When My Twin Lost




Di sini aku hanya terdiam, merenungi semua yang terjadi.
Dan hanya bisa meneteskan air mata, mengaharapkan sebuah bayang semu.
Serta hanya bisa menutup mata, dan mengibaskan kekecewaan.

            “Devi, Kakak udah nungguin kamu dari tadi di mobil, kamu malah di sini!” Kata Kak Tia jengkel.
            “Ma’af Kak, Devi hanya belum bisa ngelupain semua. Devi gak sanggup.” Kataku sembari menatap kamar kebangganku.
            “Kamu pasti kuat Dev! Kita semua kehilangan, Deva udah damai di surga sana.” Hibur Kakak dengan memeluk erat tubuh lemahku.
            Jiwaku masih di ambang batas, entah apa yang masih mengganjal di hatiku. Aku masih saja tak dapat mengikhlaskan kepergian saudara kembarku, Deva. Bagaimana tidak? Dia pergi dengan puluhan kebohongan yang membuatku mendadak membencinya. Kenapa dia harus pergi sebelum menjelaskan semua kepadaku, kamu jahat Deva.
            ==
            Sejuk, damai, dan tenang, itu yang ku rasa. Sejenak semua beban pikiran pergi meninggalkan raga ini. Rumah ini tidak terlalu besar, sangat cukup untuk aku dan Kak Tia. Faktor Ayah dan Ibu yang bekerja di luar Jawa mungkin salah satu alasan Kakak memilih rumah ini.
 Semua didesign berbeda dengan rumah kami di Semarang. Aku tahu Kak Tia berusaha membuatku tidak terlarut dalam kesedihan.
“Gimana rumahnya? Unyu banget kan?”
“Haha, iya Kak. Unyu banget. Sederhana tapi modern, top banget deh.” Jawabku bersemangat.
“Iya dong, Tante Ratna yang ngurusin semuannya sih, Kakak cuma terima beres aja.” Sahut Kakak jujur.
“Yahhh, kirain Kakak yang udah jauh hari bikin rumah buat aku. Hahaha, makasih Kakak.” Jawabku sembari mencium kening Kakak.
==
Aku menghela nafas panjang. Ku rebahkan badan lemahku. Pandanganku tertatap pada sebuah catatan kecil milik Deva. Air mataku sudah tak dapat di bendung. Bercucuran begitu saja, tak perlu paksaan. Kebencian itu kembali terukir. Susah dipahami dan dimengerti. Emosiku terus menjadi ketika ku raih buku catatan itu.
“Dasar pengkhianat, Deva jahat! Kamu Tega!” Kataku sembari ku lemparkan buku catatan yang tertulis ‘Devi Twin Of Deva’.
Aku terisak, kembang gembis dadaku mulai tak beraturan, dipenuhi ribuan pertanyaan dan kesedihan. Aku ambil ponselku, ku putuskan menelepon Ghiyat.
“Halo, assalamualaikum. Ma’af ini siapa ya?”
“Wangalaikumsalam, ini aku Devi Yat.” Jawabku spontan.
“Devi? Ini kamu? Kamu pindah kok gak ngomong si sama aku. Katanya sahabat? Pakai ganti nomor hape pula. Si Haa...” Kata Ghiyat terpotong
“Jangan diterusin, stop! Aku gak mau denger nama dia lagi.” Potongku
“Kamu kenapa si Dev, semenjak meninggalnya Deva kamu jadi terpuruk gitu? Ada apa si sebenarnya? Masih mau tetep bungkam? Oke aku tunggu kamu siap cerita.” Jawab Ghiyat panjang lebar.
“Bukan gitu Yat, aku masih belum sanggup ngeluarin semua unek-unekku. Trimss banget sob, udah mau angkat teleponku.” Kataku pasrah sembari menutup telepon.
==
Ini awalku masuk di sekolah baru, lingkungan dan logat yang agak berbeda tak membuatku minder untuk begaul. Ini malah saat yang tepat untukku melupakan semua kenangan buruk, tepatnya kenangan indah tapi pahit. Sayangnya cuaca suram dan tak mendukung. Hujanpun tak tertolakkan, dentuman petir semakin mengeras. Dan aku putuskan untuk menunggu di dapan aula hingga hujan menepis. Tiba-tiba, bruukkk!!! Ada seorang cowok yang berlari dan menabrakku hingga terpelesat tepat persis di depanku. Seragamku juga tak lepas menjadi korban.
“Hehh!! udah tau ujan ngapain masih pakai atraksi meluncur segala sih? Gak tau apa seragamku jadi kotor begini! Perasaan udah SMA masih aja mainan kaya anak TK!” Kataku ketus.
“Eh, ma’af. Tadi aku keburu sih. Ma’af sekali lagi.” Jawabnya tulus sembari memegang sikut tangan kanan.
“Itu tangan kamu, berdarah ya? Sini aku bantuin bersihin.” Tawarku sembari mengambil sleyer merah punyaku.
“Makasih ya, ma’af banget bikin seragammu kotor kena cipratan air ujan.”
“Udah aku ma’afin kok. Udah nih, lain kali hati-hati ya. Eh ujannya reda nih, aku pulang dulu ya.” Pamitku sambil tersenyum sinis.
“Ehh, namamu siapa?” Teriaknya.
“Devi!” Jawabku tanpa membalikan tubuh.
“Reno!” sahutnya.
==
Aku masih senyum-senyum sendiri teringat kejadian tadi siang.
“Aneh banget tu cowok, siapa yang tanya namanya? Hahaha..” Kataku di depan kaca.
“Tapi cakep juga, manis pula. Reno, nama yang unik.” Tambahku
Tak berapa lama ingatan tentang deva kembali hadir. Sungguh aku merasa terganggu. Kenapa harus ada dia dalam hidupku. Mengapa harus dia yang menjadi kembaranku. Dan kenapa dia harus pergi tinggalin aku sendirian di sini, tanpa penjelasan apapun. Aku sedih Va, bisakah kau kembali untuk menjelaskan semua kepadaku?
==
“Halo Yat, lagi apa sekarang? Ada waktu buatku.” Kataku langsung.
“Iya, ada. Aku lagi kumpul aja bareng anak sekelas. Kenapa lagi? Udah bisa cerita nih?” Jawab Ghiyat meledek.
“He, udah. Tapi dari mana ya?” Jawabku mulai sedih.
“Terserah aja.”
“Kok gitu si, gak tau si kamu gimana perasaanku. Gak ada yang bisa ngerti!” Kataku mulai emosi.
“Gimana mau ngerti kalau kamu terus-terusan nyalahin orang lain. Aku gak tau gimana persoalannya, gimana mau bantu kamu Dev!!!” Kata Ghiyat marah.
“Oke, aku minta ma’af. Aku tau aku salah. Sebenernya Deva sama Harnas udah pacaran dulu. Aku baru tau saat seminggu setelah kematian Deva. Aku sakit hati banget Yat! Ternyata saudara kembarku sendiri yang pacaran sama cowok yang ku taksir. Padahal dia jelas-jelas tau kalau Harnas cinta pertamaku. Kenapa dia tega Yat. Dan sekarang dia pergi tanpa kasih penjelasan sedikitpun kepadaku.” Kataku sembari mengusap air mata.
“Hahhh??????? Jadian sama Deva? Si Harnas? Beneran? Serius ni!”
“Sumpah, aku juga gak nyangka. Seminggu setelah itu malah Harnas nembak aku. Muna banget kan. Aku benci mereka berdua Yat!” Jawabku sambil terisak.
Tanpa pikir panjang aku langsung menutup teleponku. Aku yakin Ghiyat memahami perasaanku.
Kegalauanku semakin menjadi, sudah jam tiga kurang lima belas menit. Aku masih menangis, entah apa yang sebenarnya aku rasakan. Rindu akan Harnas, rindu akan Deva, atau benci pada Harnas, atau bahkan benci pada Deva. Semua menjadi bayang maya, tak beraturan dan sangat membingungkan diriku.
==
“Devivahar!!!” Panggil seseorang yang tka lain adalah Reno.
“Hah?” Kataku yang kaget mendengar nama itu langsung memalingkan muka kepadanya.
“He, kamu jalan apa lari? Astaga cepet banget ternyata. Sayang gak ada lomba jalan maraton. Hahaha.” Ketawa Reno menggelegar.
“Eh kamu Reno kan?”
“Iya, kamu lupa ya. Iya deh aku maklum. Aku kan mirip Raffi Ahmad yang ada di mana-mana. Haha.”
“Ihh, gede kepala bener kamu. Apa manggil-manggil aku? Mau simulasi jatuh lagi?” Jawabku sewot.
“Yah, eneng. Cakep-cakep galak. Aku cuma mau kembaliin sleyermu. Makasih ya Devivahar.” Jawabnya meninggalkanku.
“Namaku Devi Rosalina! Bukan Devivahar!” Teriakku keras
Devivahar yang tak lain adalah singkatan dari Devi, Deva, dan Harnas agak membuatku kesal ke Reno.
==
“Kamu kenapa si Yat, jadi diem ke aku. Aku salah apa?  Kasih tau dong. Jangan diem gini.” Kata Harnas sembari menarik tas Ghiyat.
“Eh, denger ya, gak usah pakai narik-narik tas segala! Bisa?”
“Eh, kamu tuh yang kenapa? Tiba-tiba jadi sensi banget ke aku.” Jawab Harnas membela diri.
“Kamseupay!!!!! Aku gak peduli.”
“Yat, aneh ya kamu!”
“ Kamu yang aneh, kamu yang tega ngelukis luka di hati Devi, kamu pinter banget. Deva mati langsung pindah ke Devi! Cowok apaan kau? Tak tau malu!! Ini buatmu dariku! Dan ini buatmu untuk apa yang udah kau lakuin ke Devi!! Pecundang!” Kata sinis Ghiyat dengan melayangkan dua genggam tinjunya.
“Eh, kau kesurupan apa Yat? Eh denger ya, aku juga tau kamu suka kan ke Devi! Kamu lakuin ini karena cintamu tak terbalas!!” Jawabnya sempoyongan dengan berusaha membalas tinju Ghiyat.
“Iya!!! Aku mencintai Devi, tapi karena aku tau Devi suka kau, aku mengalah. Tapi apa balasanmu? Dasar tak tau diri.” Cetus Ghiyat sembari memberi tendangan hebat ke dada Harnas.
“Kamu puas Nas?” Kata Harnas
“Aku puas!!” Jawab Ghiyat sembari meninggalkan Harnas.
Darah segar keluar dari mulut Harnas, pucat pasi itulah yang tergambarkan. Tak lama kemudian Ghiyat membawanya ke rumah sakit
==
“ Nas? Udah sadar ya? Ma’afin aku ya. Aku emosi banget.”
“Udahlah, tak apa. Aku malah seneng kamu gak diemin aku. He.”
“Udah baikan? Apa yang sakit?”
“Udah, sakit semua. Hebat juga kamu. Kau tinju mukaku sampai memar begini?’
“Ma’af Nas, aku udah bingung. Gimana lagi biar bisa ngeredam amarahku.
“Iya, aku tau. Aku harus jelasin semua ke Devi Nas. Kau punya nomor ponsel sama alamatnya gak?”
“Punya, nanti aku kirim ke nomormu.”
==
Hai dev, sori aku baru bisa sms. Tadi baru aja ngehajar Harnas nyampe masuk IGD. Sori ya, aku bikin babak belur orang yang kamu cinta,wkwkwk. Tapi sekarang dia udah baikan. Aku juga dapet tamparan dari bokapnya. Tapi gak apalah. Itu sebagai tanda pertanggung jawabanku. Tapi misal tadi kamu liat. Kami mirip Tom & Jerry. Udah ya,, ntar aku kabarin lagii. J
Ghiyat miss DeviUnyu.

            Gemetar tanganku membaca sms dari Ghiyat. Benarkah tidak apa-apa Harnas. Akupun segera membalas smsnya.
            Helloo, apa? Ngehajar Harnas gila kali ya kamu!! Bisa masuk penjara kali kalau Harnas tadi end. Bener gak apa-apa?? Sori juga, gara-gara aku persahabatan kita jadi gak jelas bangett L Ma’af ya Yat. Salam Rindu buat Harnas.
Devi miss GhiyattBawell too
==
Rapat OSIS yang mendadak dibatalkan cuma gara-gara sekretaris I OSIS sakit bener-bener bikin mual. Tau gini gak usah deh nunggu nyampe jam empat sore gini. Pengen banget protes si sebenernya. Kenapa gak sekretaris II aja yang nulis, rempong banget kan.
Itu lah omelanku sepanjang perjalanan pulang. Masalahnya aku udah ada janji sama Kak Devi buat makan ngerayain borndaynya aku.
Aku perlahan membuka pintu rumah.
Gelap, serta perasaanku mulai gak enak. Dan satu, dua, tiga...... selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Devi, semoga panjang umur.
            Hari ini aku bener-bener kerimbat tepung, telor, keju cair, dan apa lagi ini? Rambutku berhasil berubah menjadi ijuk usang dan menjijikan. Ada hal yang paling tak ku sangka, hadirnya Ghiyat dan Harnas ke sini.
Air mataku menetes deras mengingat Deva, ini tahun pertama aku merayakan ulang tahun tanpanya.
==
“Gimana perasaannya?” Kata Harnas membelah keheningan.
“Hancur banget!!” Jawabku terisak.
“Hancur? Gak suka ya aku ke sini? Aku mau jelasin ke kamu yang terjadi sama aku dan Deva.”
“Gak ada yang perlu dijelasin. Aku mengerti. Dia lebih sempurna dari pada aku. Aku juga harusnya gak egois melarangnya mencintaimu.” Kataku polos.
“Sutssss, bukan begitu. Gak ada yang sempurna di dunia ini.”
“Udahlah, tak ada gunanya bicara seperti itu. Sudah aku mau masuk!” Kataku melangkah pergi.
“Tunggu Dev, Deva memang menjadi pacarku. Dan belum ada kata putus hingga sekarang. Dia yang meminta aku seperti ini, dia janji hanya tiga hari menjalankan aksi konyolnya. Itu juga buat kamu! Dia hendak memberi kejutan kepadamu sebuah drama, yang diperankan oleh aku dan Deva. Pacaran itu hanya untuk membangun chemistry doang! Asal kamu tau, dia gak sejahat itu Dev. Dia menyayangimu, mencintaimu melebihi apapun. Jadi please ma’afin dia, dia gak bersalah Dev. Aku yang bersalah, membiarkan semua berjalan tanpa berfikir panjang. Aku sayang kamu Dev.” Kata Harnas dengan tulus.
“Ha? Benarkah? Astaga..” Jawabku penuh penyesalan
“Iya, aku dan Deva minta ma’af ya, udah bohongin kamu.” Kata Harnas.
“Aku yang salah, aku yang berdosa! Selama ini aku yang selalu merasa suci, aku menghina saudara kembarku sendiri, tanpa mau tau kebenarannya. Aku udah bikin dia gak tenang di surga Nas.” Jawabku di tengah tangis.
“Sekarang dia tenang liat kamu ma’afin dia. Berhenti dong nangisnya.” Kata Harnas sembari memeluk erat tubuhku.
==
Va, di manapun kamu berada sekarang, kamu masih bagian hidupku. Di sini, kamu masih di hatiku. Ma’afkan aku atas kesalahpahaman ini. Selama kau pergi raga ini akan kosong tanpamu.  Tak ada yang mampu menggantikanmu. Walaupun rindu ini akan terus mencoba membunuhku, akan ku pelihara hingga nanti. Hingga aku dapat menyusulmu. Bernostalgia dengan kenangan kita, dan kini (Deva)  separuh jiwaku pergi dengan damai meninggalkanku.

ttd

nurulla_