Di
sini aku hanya terdiam, merenungi semua yang terjadi.
Dan
hanya bisa meneteskan air mata, mengaharapkan sebuah bayang semu.
Serta
hanya bisa menutup mata, dan mengibaskan kekecewaan.
“Devi, Kakak udah nungguin kamu dari
tadi di mobil, kamu malah di sini!” Kata Kak Tia jengkel.
“Ma’af Kak, Devi hanya belum bisa
ngelupain semua. Devi gak sanggup.” Kataku sembari menatap kamar kebangganku.
“Kamu pasti kuat Dev! Kita semua kehilangan,
Deva udah damai di surga sana.” Hibur Kakak dengan memeluk erat tubuh lemahku.
Jiwaku masih di ambang batas, entah
apa yang masih mengganjal di hatiku. Aku masih saja tak dapat mengikhlaskan
kepergian saudara kembarku, Deva. Bagaimana tidak? Dia pergi dengan puluhan
kebohongan yang membuatku mendadak membencinya. Kenapa dia harus pergi sebelum
menjelaskan semua kepadaku, kamu jahat Deva.
==
Sejuk, damai, dan tenang, itu yang
ku rasa. Sejenak semua beban pikiran pergi meninggalkan raga ini. Rumah ini
tidak terlalu besar, sangat cukup untuk aku dan Kak Tia. Faktor Ayah dan Ibu
yang bekerja di luar Jawa mungkin salah satu alasan Kakak memilih rumah ini.
Semua didesign
berbeda dengan rumah kami di Semarang. Aku tahu Kak Tia berusaha membuatku
tidak terlarut dalam kesedihan.
“Gimana rumahnya? Unyu banget
kan?”
“Haha, iya Kak. Unyu banget.
Sederhana tapi modern, top banget deh.” Jawabku bersemangat.
“Iya dong, Tante Ratna yang
ngurusin semuannya sih, Kakak cuma terima beres aja.” Sahut Kakak jujur.
“Yahhh, kirain Kakak yang udah
jauh hari bikin rumah buat aku. Hahaha, makasih Kakak.” Jawabku sembari mencium
kening Kakak.
==
Aku menghela nafas panjang. Ku
rebahkan badan lemahku. Pandanganku tertatap pada sebuah catatan kecil milik
Deva. Air mataku sudah tak dapat di bendung. Bercucuran begitu saja, tak perlu
paksaan. Kebencian itu kembali terukir. Susah dipahami dan dimengerti. Emosiku
terus menjadi ketika ku raih buku catatan itu.
“Dasar pengkhianat, Deva jahat!
Kamu Tega!” Kataku sembari ku lemparkan buku catatan yang tertulis ‘Devi Twin Of Deva’.
Aku terisak, kembang gembis
dadaku mulai tak beraturan, dipenuhi ribuan pertanyaan dan kesedihan. Aku ambil
ponselku, ku putuskan menelepon Ghiyat.
“Halo, assalamualaikum. Ma’af ini
siapa ya?”
“Wangalaikumsalam, ini aku Devi
Yat.” Jawabku spontan.
“Devi? Ini kamu? Kamu pindah kok
gak ngomong si sama aku. Katanya sahabat? Pakai ganti nomor hape pula. Si
Haa...” Kata Ghiyat terpotong
“Jangan diterusin, stop! Aku gak
mau denger nama dia lagi.” Potongku
“Kamu kenapa si Dev, semenjak
meninggalnya Deva kamu jadi terpuruk gitu? Ada apa si sebenarnya? Masih mau
tetep bungkam? Oke aku tunggu kamu siap cerita.” Jawab Ghiyat panjang lebar.
“Bukan gitu Yat, aku masih belum
sanggup ngeluarin semua unek-unekku. Trimss banget sob, udah mau angkat
teleponku.” Kataku pasrah sembari menutup telepon.
==
Ini awalku masuk di sekolah baru,
lingkungan dan logat yang agak berbeda tak membuatku minder untuk begaul. Ini
malah saat yang tepat untukku melupakan semua kenangan buruk, tepatnya kenangan
indah tapi pahit. Sayangnya cuaca suram dan tak mendukung. Hujanpun tak
tertolakkan, dentuman petir semakin mengeras. Dan aku putuskan untuk menunggu
di dapan aula hingga hujan menepis. Tiba-tiba, bruukkk!!! Ada seorang cowok yang berlari dan menabrakku hingga
terpelesat tepat persis di depanku. Seragamku juga tak lepas menjadi korban.
“Hehh!! udah tau ujan ngapain
masih pakai atraksi meluncur segala sih? Gak tau apa seragamku jadi kotor
begini! Perasaan udah SMA masih aja mainan kaya anak TK!” Kataku ketus.
“Eh, ma’af. Tadi aku keburu sih.
Ma’af sekali lagi.” Jawabnya tulus sembari memegang sikut tangan kanan.
“Itu tangan kamu, berdarah ya?
Sini aku bantuin bersihin.” Tawarku sembari mengambil sleyer merah punyaku.
“Makasih ya, ma’af banget bikin
seragammu kotor kena cipratan air ujan.”
“Udah aku ma’afin kok. Udah nih,
lain kali hati-hati ya. Eh ujannya reda nih, aku pulang dulu ya.” Pamitku
sambil tersenyum sinis.
“Ehh, namamu siapa?” Teriaknya.
“Devi!” Jawabku tanpa membalikan
tubuh.
“Reno!” sahutnya.
==
Aku masih senyum-senyum sendiri
teringat kejadian tadi siang.
“Aneh banget tu cowok, siapa yang
tanya namanya? Hahaha..” Kataku di depan kaca.
“Tapi cakep juga, manis pula.
Reno, nama yang unik.” Tambahku
Tak berapa lama ingatan tentang
deva kembali hadir. Sungguh aku merasa terganggu. Kenapa harus ada dia dalam
hidupku. Mengapa harus dia yang menjadi kembaranku. Dan kenapa dia harus pergi
tinggalin aku sendirian di sini, tanpa penjelasan apapun. Aku sedih Va, bisakah
kau kembali untuk menjelaskan semua kepadaku?
==
“Halo Yat, lagi apa sekarang? Ada
waktu buatku.” Kataku langsung.
“Iya, ada. Aku lagi kumpul aja
bareng anak sekelas. Kenapa lagi? Udah bisa cerita nih?” Jawab Ghiyat meledek.
“He, udah. Tapi dari mana ya?”
Jawabku mulai sedih.
“Terserah aja.”
“Kok gitu si, gak tau si kamu
gimana perasaanku. Gak ada yang bisa ngerti!” Kataku mulai emosi.
“Gimana mau ngerti kalau kamu
terus-terusan nyalahin orang lain. Aku gak tau gimana persoalannya, gimana mau
bantu kamu Dev!!!” Kata Ghiyat marah.
“Oke, aku minta ma’af. Aku tau
aku salah. Sebenernya Deva sama Harnas udah pacaran dulu. Aku baru tau saat
seminggu setelah kematian Deva. Aku sakit hati banget Yat! Ternyata saudara
kembarku sendiri yang pacaran sama cowok yang ku taksir. Padahal dia
jelas-jelas tau kalau Harnas cinta pertamaku. Kenapa dia tega Yat. Dan sekarang
dia pergi tanpa kasih penjelasan sedikitpun kepadaku.” Kataku sembari mengusap
air mata.
“Hahhh??????? Jadian sama Deva?
Si Harnas? Beneran? Serius ni!”
“Sumpah, aku juga gak nyangka.
Seminggu setelah itu malah Harnas nembak aku. Muna banget kan. Aku benci mereka
berdua Yat!” Jawabku sambil terisak.
Tanpa pikir panjang aku langsung
menutup teleponku. Aku yakin Ghiyat memahami perasaanku.
Kegalauanku semakin menjadi,
sudah jam tiga kurang lima belas menit. Aku masih menangis, entah apa yang
sebenarnya aku rasakan. Rindu akan Harnas, rindu akan Deva, atau benci pada
Harnas, atau bahkan benci pada Deva. Semua menjadi bayang maya, tak beraturan
dan sangat membingungkan diriku.
==
“Devivahar!!!” Panggil seseorang
yang tka lain adalah Reno.
“Hah?” Kataku yang kaget
mendengar nama itu langsung memalingkan muka kepadanya.
“He, kamu jalan apa lari? Astaga
cepet banget ternyata. Sayang gak ada lomba jalan maraton. Hahaha.” Ketawa Reno
menggelegar.
“Eh kamu Reno kan?”
“Iya, kamu lupa ya. Iya deh aku
maklum. Aku kan mirip Raffi Ahmad yang ada di mana-mana. Haha.”
“Ihh, gede kepala bener kamu. Apa
manggil-manggil aku? Mau simulasi jatuh lagi?” Jawabku sewot.
“Yah, eneng. Cakep-cakep galak.
Aku cuma mau kembaliin sleyermu. Makasih ya Devivahar.” Jawabnya
meninggalkanku.
“Namaku Devi Rosalina! Bukan
Devivahar!” Teriakku keras
Devivahar yang tak lain adalah
singkatan dari Devi, Deva, dan Harnas agak membuatku kesal ke Reno.
==
“Kamu kenapa si Yat, jadi diem ke
aku. Aku salah apa? Kasih tau dong.
Jangan diem gini.” Kata Harnas sembari menarik tas Ghiyat.
“Eh, denger ya, gak usah pakai
narik-narik tas segala! Bisa?”
“Eh, kamu tuh yang kenapa? Tiba-tiba
jadi sensi banget ke aku.” Jawab Harnas membela diri.
“Kamseupay!!!!! Aku gak peduli.”
“Yat, aneh ya kamu!”
“ Kamu yang aneh, kamu yang tega
ngelukis luka di hati Devi, kamu pinter banget. Deva mati langsung pindah ke
Devi! Cowok apaan kau? Tak tau malu!! Ini buatmu dariku! Dan ini buatmu untuk
apa yang udah kau lakuin ke Devi!! Pecundang!” Kata sinis Ghiyat dengan
melayangkan dua genggam tinjunya.
“Eh, kau kesurupan apa Yat? Eh
denger ya, aku juga tau kamu suka kan ke Devi! Kamu lakuin ini karena cintamu
tak terbalas!!” Jawabnya sempoyongan dengan berusaha membalas tinju Ghiyat.
“Iya!!! Aku mencintai Devi, tapi karena
aku tau Devi suka kau, aku mengalah. Tapi apa balasanmu? Dasar tak tau diri.”
Cetus Ghiyat sembari memberi tendangan hebat ke dada Harnas.
“Kamu puas Nas?” Kata Harnas
“Aku puas!!” Jawab Ghiyat sembari
meninggalkan Harnas.
Darah segar keluar dari mulut
Harnas, pucat pasi itulah yang tergambarkan. Tak lama kemudian Ghiyat
membawanya ke rumah sakit
==
“ Nas? Udah sadar ya? Ma’afin aku
ya. Aku emosi banget.”
“Udahlah, tak apa. Aku malah
seneng kamu gak diemin aku. He.”
“Udah baikan? Apa yang sakit?”
“Udah, sakit semua. Hebat juga
kamu. Kau tinju mukaku sampai memar begini?’
“Ma’af Nas, aku udah bingung.
Gimana lagi biar bisa ngeredam amarahku.
“Iya, aku tau. Aku harus jelasin
semua ke Devi Nas. Kau punya nomor ponsel sama alamatnya gak?”
“Punya, nanti aku kirim ke
nomormu.”
==
Hai
dev, sori aku baru bisa sms. Tadi baru aja ngehajar Harnas nyampe masuk IGD.
Sori ya, aku bikin babak belur orang yang kamu cinta,wkwkwk. Tapi sekarang dia
udah baikan. Aku juga dapet tamparan dari bokapnya. Tapi gak apalah. Itu
sebagai tanda pertanggung jawabanku. Tapi misal tadi kamu liat. Kami mirip Tom
& Jerry. Udah ya,, ntar aku kabarin lagii. J
Ghiyat
miss DeviUnyu.
Gemetar tanganku membaca sms dari
Ghiyat. Benarkah tidak apa-apa Harnas. Akupun segera membalas smsnya.
Helloo, apa? Ngehajar Harnas gila kali ya
kamu!! Bisa masuk penjara kali kalau Harnas tadi end. Bener gak apa-apa?? Sori
juga, gara-gara aku persahabatan kita jadi gak jelas bangett L
Ma’af ya Yat. Salam Rindu buat Harnas.
Devi
miss GhiyattBawell too
==
Rapat OSIS yang mendadak
dibatalkan cuma gara-gara sekretaris I OSIS sakit bener-bener bikin mual. Tau
gini gak usah deh nunggu nyampe jam empat sore gini. Pengen banget protes si
sebenernya. Kenapa gak sekretaris II aja yang nulis, rempong banget kan.
Itu lah omelanku sepanjang
perjalanan pulang. Masalahnya aku udah ada janji sama Kak Devi buat makan
ngerayain borndaynya aku.
Aku perlahan membuka pintu rumah.
Gelap,
serta perasaanku mulai gak enak. Dan satu, dua, tiga...... selamat ulang tahun,
selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Devi, semoga panjang umur.
Hari ini aku bener-bener kerimbat
tepung, telor, keju cair, dan apa lagi ini? Rambutku berhasil berubah menjadi
ijuk usang dan menjijikan. Ada hal yang paling tak ku sangka, hadirnya Ghiyat
dan Harnas ke sini.
Air
mataku menetes deras mengingat Deva, ini tahun pertama aku merayakan ulang
tahun tanpanya.
==
“Gimana perasaannya?” Kata Harnas
membelah keheningan.
“Hancur banget!!” Jawabku
terisak.
“Hancur? Gak suka ya aku ke sini?
Aku mau jelasin ke kamu yang terjadi sama aku dan Deva.”
“Gak ada yang perlu dijelasin.
Aku mengerti. Dia lebih sempurna dari pada aku. Aku juga harusnya gak egois
melarangnya mencintaimu.” Kataku polos.
“Sutssss, bukan begitu. Gak ada
yang sempurna di dunia ini.”
“Udahlah, tak ada gunanya bicara
seperti itu. Sudah aku mau masuk!” Kataku melangkah pergi.
“Tunggu Dev, Deva memang menjadi
pacarku. Dan belum ada kata putus hingga sekarang. Dia yang meminta aku seperti
ini, dia janji hanya tiga hari menjalankan aksi konyolnya. Itu juga buat kamu!
Dia hendak memberi kejutan kepadamu sebuah drama, yang diperankan oleh aku dan
Deva. Pacaran itu hanya untuk membangun chemistry
doang! Asal kamu tau, dia gak sejahat itu Dev. Dia menyayangimu, mencintaimu
melebihi apapun. Jadi please ma’afin
dia, dia gak bersalah Dev. Aku yang bersalah, membiarkan semua berjalan tanpa
berfikir panjang. Aku sayang kamu Dev.” Kata Harnas dengan tulus.
“Ha? Benarkah? Astaga..” Jawabku
penuh penyesalan
“Iya, aku dan Deva minta ma’af
ya, udah bohongin kamu.” Kata Harnas.
“Aku yang salah, aku yang
berdosa! Selama ini aku yang selalu merasa suci, aku menghina saudara kembarku
sendiri, tanpa mau tau kebenarannya. Aku udah bikin dia gak tenang di surga
Nas.” Jawabku di tengah tangis.
“Sekarang dia tenang liat kamu
ma’afin dia. Berhenti dong nangisnya.” Kata Harnas sembari memeluk erat
tubuhku.
==
Va, di manapun kamu berada
sekarang, kamu masih bagian hidupku. Di sini, kamu masih di hatiku. Ma’afkan
aku atas kesalahpahaman ini. Selama kau pergi raga ini akan kosong
tanpamu. Tak ada yang mampu
menggantikanmu. Walaupun rindu ini akan terus mencoba membunuhku, akan ku
pelihara hingga nanti. Hingga aku dapat menyusulmu. Bernostalgia dengan
kenangan kita, dan kini (Deva) separuh
jiwaku pergi dengan damai meninggalkanku.
ttd
nurulla_
0 komentar:
Posting Komentar