RSS

My Best Friend



            I have best friend, Her name is Azizah Nayang Sasi Lahati, but you can call Her Nayang. She was born in Merauke on 14th of March . Now she is goes to State Senior High School of 1 Merauke.
            Nayang is a beautiful and smart girl. She has blonde hair an lit bit long and has brown eyes. Her face like Koren actress.
Nayang likes to see the sky, love play with cats, and yeah when she is in front of miror everyday she talk to the miror and speak with english. She always obbssesed with English. In the future, she want to work in Embassy. She said that it would be an amazing job.
            Then, Nayang always know about me. She always understand me. I know Her since ten years ago when i was in Merauke.
I’m very miss Her, I wish that someday, i can meet and sharing about our life together again.

When My Twin Lost




Di sini aku hanya terdiam, merenungi semua yang terjadi.
Dan hanya bisa meneteskan air mata, mengaharapkan sebuah bayang semu.
Serta hanya bisa menutup mata, dan mengibaskan kekecewaan.

            “Devi, Kakak udah nungguin kamu dari tadi di mobil, kamu malah di sini!” Kata Kak Tia jengkel.
            “Ma’af Kak, Devi hanya belum bisa ngelupain semua. Devi gak sanggup.” Kataku sembari menatap kamar kebangganku.
            “Kamu pasti kuat Dev! Kita semua kehilangan, Deva udah damai di surga sana.” Hibur Kakak dengan memeluk erat tubuh lemahku.
            Jiwaku masih di ambang batas, entah apa yang masih mengganjal di hatiku. Aku masih saja tak dapat mengikhlaskan kepergian saudara kembarku, Deva. Bagaimana tidak? Dia pergi dengan puluhan kebohongan yang membuatku mendadak membencinya. Kenapa dia harus pergi sebelum menjelaskan semua kepadaku, kamu jahat Deva.
            ==
            Sejuk, damai, dan tenang, itu yang ku rasa. Sejenak semua beban pikiran pergi meninggalkan raga ini. Rumah ini tidak terlalu besar, sangat cukup untuk aku dan Kak Tia. Faktor Ayah dan Ibu yang bekerja di luar Jawa mungkin salah satu alasan Kakak memilih rumah ini.
 Semua didesign berbeda dengan rumah kami di Semarang. Aku tahu Kak Tia berusaha membuatku tidak terlarut dalam kesedihan.
“Gimana rumahnya? Unyu banget kan?”
“Haha, iya Kak. Unyu banget. Sederhana tapi modern, top banget deh.” Jawabku bersemangat.
“Iya dong, Tante Ratna yang ngurusin semuannya sih, Kakak cuma terima beres aja.” Sahut Kakak jujur.
“Yahhh, kirain Kakak yang udah jauh hari bikin rumah buat aku. Hahaha, makasih Kakak.” Jawabku sembari mencium kening Kakak.
==
Aku menghela nafas panjang. Ku rebahkan badan lemahku. Pandanganku tertatap pada sebuah catatan kecil milik Deva. Air mataku sudah tak dapat di bendung. Bercucuran begitu saja, tak perlu paksaan. Kebencian itu kembali terukir. Susah dipahami dan dimengerti. Emosiku terus menjadi ketika ku raih buku catatan itu.
“Dasar pengkhianat, Deva jahat! Kamu Tega!” Kataku sembari ku lemparkan buku catatan yang tertulis ‘Devi Twin Of Deva’.
Aku terisak, kembang gembis dadaku mulai tak beraturan, dipenuhi ribuan pertanyaan dan kesedihan. Aku ambil ponselku, ku putuskan menelepon Ghiyat.
“Halo, assalamualaikum. Ma’af ini siapa ya?”
“Wangalaikumsalam, ini aku Devi Yat.” Jawabku spontan.
“Devi? Ini kamu? Kamu pindah kok gak ngomong si sama aku. Katanya sahabat? Pakai ganti nomor hape pula. Si Haa...” Kata Ghiyat terpotong
“Jangan diterusin, stop! Aku gak mau denger nama dia lagi.” Potongku
“Kamu kenapa si Dev, semenjak meninggalnya Deva kamu jadi terpuruk gitu? Ada apa si sebenarnya? Masih mau tetep bungkam? Oke aku tunggu kamu siap cerita.” Jawab Ghiyat panjang lebar.
“Bukan gitu Yat, aku masih belum sanggup ngeluarin semua unek-unekku. Trimss banget sob, udah mau angkat teleponku.” Kataku pasrah sembari menutup telepon.
==
Ini awalku masuk di sekolah baru, lingkungan dan logat yang agak berbeda tak membuatku minder untuk begaul. Ini malah saat yang tepat untukku melupakan semua kenangan buruk, tepatnya kenangan indah tapi pahit. Sayangnya cuaca suram dan tak mendukung. Hujanpun tak tertolakkan, dentuman petir semakin mengeras. Dan aku putuskan untuk menunggu di dapan aula hingga hujan menepis. Tiba-tiba, bruukkk!!! Ada seorang cowok yang berlari dan menabrakku hingga terpelesat tepat persis di depanku. Seragamku juga tak lepas menjadi korban.
“Hehh!! udah tau ujan ngapain masih pakai atraksi meluncur segala sih? Gak tau apa seragamku jadi kotor begini! Perasaan udah SMA masih aja mainan kaya anak TK!” Kataku ketus.
“Eh, ma’af. Tadi aku keburu sih. Ma’af sekali lagi.” Jawabnya tulus sembari memegang sikut tangan kanan.
“Itu tangan kamu, berdarah ya? Sini aku bantuin bersihin.” Tawarku sembari mengambil sleyer merah punyaku.
“Makasih ya, ma’af banget bikin seragammu kotor kena cipratan air ujan.”
“Udah aku ma’afin kok. Udah nih, lain kali hati-hati ya. Eh ujannya reda nih, aku pulang dulu ya.” Pamitku sambil tersenyum sinis.
“Ehh, namamu siapa?” Teriaknya.
“Devi!” Jawabku tanpa membalikan tubuh.
“Reno!” sahutnya.
==
Aku masih senyum-senyum sendiri teringat kejadian tadi siang.
“Aneh banget tu cowok, siapa yang tanya namanya? Hahaha..” Kataku di depan kaca.
“Tapi cakep juga, manis pula. Reno, nama yang unik.” Tambahku
Tak berapa lama ingatan tentang deva kembali hadir. Sungguh aku merasa terganggu. Kenapa harus ada dia dalam hidupku. Mengapa harus dia yang menjadi kembaranku. Dan kenapa dia harus pergi tinggalin aku sendirian di sini, tanpa penjelasan apapun. Aku sedih Va, bisakah kau kembali untuk menjelaskan semua kepadaku?
==
“Halo Yat, lagi apa sekarang? Ada waktu buatku.” Kataku langsung.
“Iya, ada. Aku lagi kumpul aja bareng anak sekelas. Kenapa lagi? Udah bisa cerita nih?” Jawab Ghiyat meledek.
“He, udah. Tapi dari mana ya?” Jawabku mulai sedih.
“Terserah aja.”
“Kok gitu si, gak tau si kamu gimana perasaanku. Gak ada yang bisa ngerti!” Kataku mulai emosi.
“Gimana mau ngerti kalau kamu terus-terusan nyalahin orang lain. Aku gak tau gimana persoalannya, gimana mau bantu kamu Dev!!!” Kata Ghiyat marah.
“Oke, aku minta ma’af. Aku tau aku salah. Sebenernya Deva sama Harnas udah pacaran dulu. Aku baru tau saat seminggu setelah kematian Deva. Aku sakit hati banget Yat! Ternyata saudara kembarku sendiri yang pacaran sama cowok yang ku taksir. Padahal dia jelas-jelas tau kalau Harnas cinta pertamaku. Kenapa dia tega Yat. Dan sekarang dia pergi tanpa kasih penjelasan sedikitpun kepadaku.” Kataku sembari mengusap air mata.
“Hahhh??????? Jadian sama Deva? Si Harnas? Beneran? Serius ni!”
“Sumpah, aku juga gak nyangka. Seminggu setelah itu malah Harnas nembak aku. Muna banget kan. Aku benci mereka berdua Yat!” Jawabku sambil terisak.
Tanpa pikir panjang aku langsung menutup teleponku. Aku yakin Ghiyat memahami perasaanku.
Kegalauanku semakin menjadi, sudah jam tiga kurang lima belas menit. Aku masih menangis, entah apa yang sebenarnya aku rasakan. Rindu akan Harnas, rindu akan Deva, atau benci pada Harnas, atau bahkan benci pada Deva. Semua menjadi bayang maya, tak beraturan dan sangat membingungkan diriku.
==
“Devivahar!!!” Panggil seseorang yang tka lain adalah Reno.
“Hah?” Kataku yang kaget mendengar nama itu langsung memalingkan muka kepadanya.
“He, kamu jalan apa lari? Astaga cepet banget ternyata. Sayang gak ada lomba jalan maraton. Hahaha.” Ketawa Reno menggelegar.
“Eh kamu Reno kan?”
“Iya, kamu lupa ya. Iya deh aku maklum. Aku kan mirip Raffi Ahmad yang ada di mana-mana. Haha.”
“Ihh, gede kepala bener kamu. Apa manggil-manggil aku? Mau simulasi jatuh lagi?” Jawabku sewot.
“Yah, eneng. Cakep-cakep galak. Aku cuma mau kembaliin sleyermu. Makasih ya Devivahar.” Jawabnya meninggalkanku.
“Namaku Devi Rosalina! Bukan Devivahar!” Teriakku keras
Devivahar yang tak lain adalah singkatan dari Devi, Deva, dan Harnas agak membuatku kesal ke Reno.
==
“Kamu kenapa si Yat, jadi diem ke aku. Aku salah apa?  Kasih tau dong. Jangan diem gini.” Kata Harnas sembari menarik tas Ghiyat.
“Eh, denger ya, gak usah pakai narik-narik tas segala! Bisa?”
“Eh, kamu tuh yang kenapa? Tiba-tiba jadi sensi banget ke aku.” Jawab Harnas membela diri.
“Kamseupay!!!!! Aku gak peduli.”
“Yat, aneh ya kamu!”
“ Kamu yang aneh, kamu yang tega ngelukis luka di hati Devi, kamu pinter banget. Deva mati langsung pindah ke Devi! Cowok apaan kau? Tak tau malu!! Ini buatmu dariku! Dan ini buatmu untuk apa yang udah kau lakuin ke Devi!! Pecundang!” Kata sinis Ghiyat dengan melayangkan dua genggam tinjunya.
“Eh, kau kesurupan apa Yat? Eh denger ya, aku juga tau kamu suka kan ke Devi! Kamu lakuin ini karena cintamu tak terbalas!!” Jawabnya sempoyongan dengan berusaha membalas tinju Ghiyat.
“Iya!!! Aku mencintai Devi, tapi karena aku tau Devi suka kau, aku mengalah. Tapi apa balasanmu? Dasar tak tau diri.” Cetus Ghiyat sembari memberi tendangan hebat ke dada Harnas.
“Kamu puas Nas?” Kata Harnas
“Aku puas!!” Jawab Ghiyat sembari meninggalkan Harnas.
Darah segar keluar dari mulut Harnas, pucat pasi itulah yang tergambarkan. Tak lama kemudian Ghiyat membawanya ke rumah sakit
==
“ Nas? Udah sadar ya? Ma’afin aku ya. Aku emosi banget.”
“Udahlah, tak apa. Aku malah seneng kamu gak diemin aku. He.”
“Udah baikan? Apa yang sakit?”
“Udah, sakit semua. Hebat juga kamu. Kau tinju mukaku sampai memar begini?’
“Ma’af Nas, aku udah bingung. Gimana lagi biar bisa ngeredam amarahku.
“Iya, aku tau. Aku harus jelasin semua ke Devi Nas. Kau punya nomor ponsel sama alamatnya gak?”
“Punya, nanti aku kirim ke nomormu.”
==
Hai dev, sori aku baru bisa sms. Tadi baru aja ngehajar Harnas nyampe masuk IGD. Sori ya, aku bikin babak belur orang yang kamu cinta,wkwkwk. Tapi sekarang dia udah baikan. Aku juga dapet tamparan dari bokapnya. Tapi gak apalah. Itu sebagai tanda pertanggung jawabanku. Tapi misal tadi kamu liat. Kami mirip Tom & Jerry. Udah ya,, ntar aku kabarin lagii. J
Ghiyat miss DeviUnyu.

            Gemetar tanganku membaca sms dari Ghiyat. Benarkah tidak apa-apa Harnas. Akupun segera membalas smsnya.
            Helloo, apa? Ngehajar Harnas gila kali ya kamu!! Bisa masuk penjara kali kalau Harnas tadi end. Bener gak apa-apa?? Sori juga, gara-gara aku persahabatan kita jadi gak jelas bangett L Ma’af ya Yat. Salam Rindu buat Harnas.
Devi miss GhiyattBawell too
==
Rapat OSIS yang mendadak dibatalkan cuma gara-gara sekretaris I OSIS sakit bener-bener bikin mual. Tau gini gak usah deh nunggu nyampe jam empat sore gini. Pengen banget protes si sebenernya. Kenapa gak sekretaris II aja yang nulis, rempong banget kan.
Itu lah omelanku sepanjang perjalanan pulang. Masalahnya aku udah ada janji sama Kak Devi buat makan ngerayain borndaynya aku.
Aku perlahan membuka pintu rumah.
Gelap, serta perasaanku mulai gak enak. Dan satu, dua, tiga...... selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Devi, semoga panjang umur.
            Hari ini aku bener-bener kerimbat tepung, telor, keju cair, dan apa lagi ini? Rambutku berhasil berubah menjadi ijuk usang dan menjijikan. Ada hal yang paling tak ku sangka, hadirnya Ghiyat dan Harnas ke sini.
Air mataku menetes deras mengingat Deva, ini tahun pertama aku merayakan ulang tahun tanpanya.
==
“Gimana perasaannya?” Kata Harnas membelah keheningan.
“Hancur banget!!” Jawabku terisak.
“Hancur? Gak suka ya aku ke sini? Aku mau jelasin ke kamu yang terjadi sama aku dan Deva.”
“Gak ada yang perlu dijelasin. Aku mengerti. Dia lebih sempurna dari pada aku. Aku juga harusnya gak egois melarangnya mencintaimu.” Kataku polos.
“Sutssss, bukan begitu. Gak ada yang sempurna di dunia ini.”
“Udahlah, tak ada gunanya bicara seperti itu. Sudah aku mau masuk!” Kataku melangkah pergi.
“Tunggu Dev, Deva memang menjadi pacarku. Dan belum ada kata putus hingga sekarang. Dia yang meminta aku seperti ini, dia janji hanya tiga hari menjalankan aksi konyolnya. Itu juga buat kamu! Dia hendak memberi kejutan kepadamu sebuah drama, yang diperankan oleh aku dan Deva. Pacaran itu hanya untuk membangun chemistry doang! Asal kamu tau, dia gak sejahat itu Dev. Dia menyayangimu, mencintaimu melebihi apapun. Jadi please ma’afin dia, dia gak bersalah Dev. Aku yang bersalah, membiarkan semua berjalan tanpa berfikir panjang. Aku sayang kamu Dev.” Kata Harnas dengan tulus.
“Ha? Benarkah? Astaga..” Jawabku penuh penyesalan
“Iya, aku dan Deva minta ma’af ya, udah bohongin kamu.” Kata Harnas.
“Aku yang salah, aku yang berdosa! Selama ini aku yang selalu merasa suci, aku menghina saudara kembarku sendiri, tanpa mau tau kebenarannya. Aku udah bikin dia gak tenang di surga Nas.” Jawabku di tengah tangis.
“Sekarang dia tenang liat kamu ma’afin dia. Berhenti dong nangisnya.” Kata Harnas sembari memeluk erat tubuhku.
==
Va, di manapun kamu berada sekarang, kamu masih bagian hidupku. Di sini, kamu masih di hatiku. Ma’afkan aku atas kesalahpahaman ini. Selama kau pergi raga ini akan kosong tanpamu.  Tak ada yang mampu menggantikanmu. Walaupun rindu ini akan terus mencoba membunuhku, akan ku pelihara hingga nanti. Hingga aku dapat menyusulmu. Bernostalgia dengan kenangan kita, dan kini (Deva)  separuh jiwaku pergi dengan damai meninggalkanku.

ttd

nurulla_

Dongeng Cinta



Entahlah apa yang sebenarnya terjadi
Angin masih bertiup seperti biasannya
Namun dengan lambat ku mulai menutup mata ini
Mencoba tetap berjalan terus ke dalam

Rasanya kau selau ada di dekat diriku
Ku coba terus mengikutimu perlahan
Hari demi hari, waktu demi waktu
Namun ku selalu tak bisa menghampirimu

Cahaya matahari mulai terbenam
Mulai terbenam di dalam hatiku
Dia menyerupaiku, yang tak bisa berkata apapun
Ketika sangat kehilangan walau terus memberontak

Dan ketika kegelapan muncul
Bintang naik ke langit lepas
Ya, dia bak dirimu
Seketika muncul tiada pertanda

Itu bagai fatamorgana di malam hari
Teramat tak mungkin terjadi
Yang asli sangat menjernihkan
Air mata yang mengalir

Dan saat bintang itu mulai menghilang
Keyakinan bodohku semakin bertambah
Aku benci harapan yang tumbuh ini
Aku benci hatiku yang terbelah

Namun perlahan bintang itu semakin menuai ke puncak
Meskipun dia tak bersuai, ku mulai mengetahui kiasan itu
Bintang tak ingin matahari bersedih
Walaupun di kehidupan sekarang cinta bintang bukan milik matahari
Di kehidupan selanjutnya, cinta bintang akan menjadi milik matahari

NN

Setapak Nasihatmu, Papah


            Cuaca hari ini kayaknya benar-benar tak bersahabat. Tinta hitam pekat terlukis seram di sana. Kabut pun tak berani mendekat, seolah tinta hitam itu akan segera menelannya mentah-mentah. Hanya angin kencang dan petir yang mampu menerjang seramnya lukisan di awan itu.
Seperti aku kini, hanya terdiam melihat fenomena itu di balik tirai jendelaku. Memori 5 tahun silam kembali terputar jelas di otakku. Saat aku, Papah, Mamah, serta kedua adikku akan pergi menjenguk Eyang di luar kota. Hari itu, cuaca serupa dengan hari ini. Awan dengan tinta hitam melekat erat seakan tak ingin keluargaku pergi kemana-mana.
Entah apa yang terjadi, aku tak ingat pastinya. Yang aku tahu saat itu, hanya seorang lelaki tua yang sedang berjalan memikul rumput berteriak keras, “Pak, ada kereta api pak!”. Papah yang sedang berusaha menyalakan mesin mobil enggan mendengar perintah lelaki tua itu. Sedangkan suara kereta itu semakin mendekat. Kedua adikku yang tadinya terlelap tidur, kini menangis ketakutan, dan Mamah dengan gelisah ikut menenangkan kedua adikku.
Di sisi lain, lelaki tua itu kembali berteriak, kali ini teriakannya terlampau keras hingga membuat emosi Papah meledak. Aku tahu betul kodisi Papah, Papah panik dengan kondisi Eyang yang tiba-tiba memburuk, dan kini mobilnya harus mogok di tengah rel kereta api.
“Pak, baiknya Bapak turun saja! Sampai Bapak lemas pun mesin takkan hidup. Kereta sebentar lagi melintas. Selamatkan diri Bapak dan keluarga Bapak!”  Teriak keras lelaki tua itu. Tapi Papah tetap tak menghiraukan ucapan lelaki tua itu. Dan drakkkkk, kereta menghantam keras bagian samping kanan mobil. Mobil kami terseret entah sampai berapa meter. Aku menggenggam erat tangan kedua adikku dan Mamah memeluk kami. Darah ada di mana-mana, hingga mukaku penuh cairan berwarna merah yang ku yakini adalah darah Papah. Hanya itu yang aku ingat, selebihnya hanya bayang-bayang semu yang takku ketahui kebenarannya.
            Tragedi itu membuatku kehilangan Papah dan Mamah. Papah meninggal di tempat, dan Mamah meninggal setelah dibawa ke rumah sakit. Perih dan tak bisa menerima kenyataan saat itu membuatku sangat terpuruk. Inginku menyusul Papah dan Mamah, namun kedua adikku masih membutuhkanku. Itulah yang membuat aku tegar hingga saat ini. Kedua adikku, Rafiel Regaza dan Ghina Regaza kini telah menjadi semangat terbesar di hidupku.
            Kini aku duduk di kelas 3 SMA disalah satu SMA ternama di kota Jakarta, Rafiel kelas 1 SMP, dan Ghina masih duduk di kelas 3 SD. Sekarang aku tinggal bersama Tante, Om beserta Andi anaknya. Om sangat menyayangi kami, apapun yang kami butuhkan pasti terpenuhi. Berbeda dengan halnya Tante dan Andi, mereka serasa tak suka adanya kehadiran kami di celah keluarga kecil mereka.
--
“Fajar, apa yang kamu lakukan di dekat jendela?”
“Gak ada Om, Fajar hanya kangen sama Papah, Mamah. Kangen banget Om. Coba aja Tuhan kasih satu kali lagi buat Fajar ketemu Papah, Mamah. Fajar janji Om, gak akan ngecewain mereka. Fajar ingin sekali melihat mereka tersenyum ke Fajar”. Jawabku sambil meneteskan air mata.
“Om ngerti kok perasaan kamu. Papah, Mamahmu telah tersenyum di sana melihat ketegaranmu dan prestasi-prestasi yang telah kau dapatkan sekarang.” Ucap Om sembari mengelus jilbab yang aku pakai.
“Terima kasih Om, atas segala bantuan Om, Tante dan Andi selama ini. Berkat keluarga Om, Fajar, Rafiel dan Ghina masih bisa menikmati bangku sekolah.”
“Itu sudah jadi kewajiban Om Jar, Om merasa senang membantu kamu dan adik-adikmu. Om sukses seperti ini juga berkat usaha Papahmu yang menyekolahkan Om dulu. Yuk, makan dulu. Semua sudah disiapan sama Tante.”
“Iya Om.” Jawabku sembari melangkah meninggalkan kamar.
--
            Liburan kenaikan kelas kini telah di depan mata, rencananya aku ingin mengajak Rafiel dan Ghina pulang ke rumah yang dulu, kini di tempati oleh Tante Dewi, adik Mamah. Hari ini aku akan mengabarkan kalau aku akan berlibur 2 minggu di sana. aku meraih gagang telepon rumah Om, aku tekan dua belas digit nomor yang menurutku sudah tak asing.
“ Halo, Assalamualaikum. Ma’af siapa?”
“Wangalaikumsalam, alhamdulilah. Ini Fajar Tante. Tante gimana kabarnya? Sehat?”
“Fajar anaknya Kak Devi? Ya ampun, baik Jar. Kamu gimana? Kok gak pernah kasih kabar ke Tante?”
“Aduh Tante, ma’af. Tugas sekolah berjibun banget. Jadi agak susah connectnya. Hehehe.”

“Iya Tante ngerti kok, yang penting kamu jaga diri baik-baik, sama jaga Rafiel dan Ghina. Ada niat mau main ke Bogor gak nih Jar, Tante kangen nih.”
“Iya Tante, Fajar pasti jagain Rafiel sama Ghina. Hehehe, Fajar ngangenin ya? Ada Tante, kayaknya Minggu depan Fajar, Rafiel sama Ghina bakal nginep sekitar 2 mingguan. Siapin aja ya itu makanan yang banyak. Hehe.”
“Ahh, kamu. Masih kaya dulu. Iya Tante siapin makanan yang banyak. Dan siap-siap kamu harus habisin. Karna kalau gak, Tante yang akan habisin kamu! Hehe.”
“Tante, Tante. Fajar cuma punya tulang, daging aja sedikit. Tante doyan? Hehe. Tant, sudah dulu ya, Fajar  hanya kasih kabar Fajar mau ke situ Minggu depan. Oke! Sampai ketemu Minggu depan. Wassalamualaikum.”
“Sip Jar. Wangalaikumsalam.”
--
            Minggu yang dinanti-nanti telah tiba, ternyata rencanaku ke Bogor membuat gempar se-isi rumah. Om ngotot mau mengantarku dan adik-adikku, namun Tante Ratna melarang keras. Ditambah dengan tingkah Andi yang membuat emosiku meledak. Bagaimana tidak, dia membawa nama Papah sebagai sumber petaka di keluarga mereka.
“Heh Andi, gak perlu ya kamu nyebut-nyebut nama Papahku. Papah gak ada hubungannya sama ini semua!” Kataku nyolot
“Apa lo? Inget ya, semenjak bokap lo mati, lo itu jadi tanggungan siapa? Lo jadi tanggungan bokap gue, ngerti! Jadi gak usah deh ya lo berlagak sok suci di sini!”
“Aku ga pernah minta tinggal di sini, Papahmu sendiri yang bawa aku dan adik-adikku masuk ke keluargamu!” Jawabku membela diri.
“Tetap aja lo itu derita gue, adik belagu lo itu, Rafiel, sama adik ingusan lo Ghina sama kayak lo, anak terlantar!”
            Tiba-tiba, plakkkkkkk. Satu tamparan melayang dari tangan kanan Om. Tak berselang lama, plakkkk, satu tamparan kembali di berikan dari tangan hangat Om Henra.
Andi yang merasa kesakitan, memegang pipi kanannya yang memang benar-benar merah. Ia memandangku benci.
“Yah, yang jadi anak Ayah itu Andi atau Fajar sih? Kok Ayah belain Fajar, harusnya Ayah belain Andi, anak Ayah. Mau-maunya Ayah bawa anak terlantar itu ke rumah!” Kata Andi sembari menunjukku.
“Andi! Jaga perkataanmu! Fajar itu kakak keponakanmu, harusnya kamu lebih menghormati dia. Kamu seperti orang tak berpendidikan. Memalukan!” Marah Om Henra.
“Apa? Menghormati? Kakak? Mimpi kali yah aku punya Kakak pembawa sial kaya dia! Mah...! Ini Fajar bikin ulah lagi!” Teriak Andi ke Tante Ratna.
            Tante Ratna langsung turun dari lantai 2 dengan muka judesnya.
“Ada apa lagi ini? Fajar, kamu gak ada bosan-bosannya yah bikin ulah. Tante muak!” Cetus Tante Ratna.
“Fajar gak bikin apa-apa Tante, Fajar hanya gak mau nama Papah dibilang sebagai petaka.” Jawabku tegas.
“Aduh, kamu gak nyadar ya? Gara-gara Papahmu mati, kamu jadi tinggal di sini. Kamu tinggal di sini berarti petaka buat Tante. Jadi Papahmu itu petaka. Maksud?”
Stop Tante, Papah bukan petaka!” Isakku sembari lari ke kamar.
            Om Henra mengejarku, mencoba memegang tanganku. Namun hati kecilku telah cukup hancur didera cacian maki keluarga Om Henra.
“Om minta ma’af Jar. Om tau mereka kelewat batas. Mereka keterlaluan bicara seperti itu. Tapi Om benar-benar tulus membantumu. Om sudah menganggapmu anak.”
“Fajar tahu Om, tapi ada benarnya juga kata Tante Ratna dan Andi, Fajar sama adik-adik Fajar beban buat Om, Fajar akan usahain pindah sekolah Om. Ke Bogor, tinggal sama Tante Dewi. Om bisa bantu surat pindah Fajar, Rafiel sama Ghina. Itu sudah lebih dari cukup. Ma’af Om.”
“Tapi Fajar..., ya sudahlah kalau itu yang terbaik menurutmu. Om akan selesaikan surat pindah sekolahmu beserta adik-adikmu. Tapi besok, Om yang akan nganterin kamu ke Bogor.” Ujar Om sembari tersenyum manis kepadaku.
‘Terima kasih Om, Fajar tak akan melupakan kebaikan Om Henra.” Jawabku sembari membalas senyumnya.
--
            Ini kali pertama aku dan adik-adiku, mengunjungi kota kelahiranku setelah kematian Papah dan Mamah. Rindu akan semua kenangan indah bersama mereka terekam jelas ketika aku menginjakkan kaki di depan rumah yang dulu pernah aku huni. Tak di buat-buat, aku menetesakan air mata di depan kedua adikku. Merekapun merasa bingung, raut wajah mereka mengisyaratkan penuh dengan tanda tanya.
“Kakak kenapa? Kok mendadak menangis?” Tanya Rafiel.
“Ihh, Kakak kok nangis? Takut kucing hitam itu ya?” Sahut Ghina sembari menunjuk kucing hitam di depan matanya.
“Kakak gak kenapa-kenapa sayang. Kakak hanya rindu rumah ini.” Jawabku menghibur diri.
            Setelah 6 kali memencet bell, Tante Dewi baru membukakan pintu. Terdiam ia menatapku. Entah kaget, entah senang, entah sedih. Dia terus memandangku membisu, hingga ia tak dapat membendung luapan air matanya dan memeluk erat tubuh letihku.
“Fajar, ya Tuhan, kamu cantik sekali berbalut jilbab merah. Sungguh menawan, kamu mirip sekali dengan alm.Mamahmu. Ini adik-adikmu Jar?”
“Terima kasih Tante, iya ini Rafiel, terus ini Ghina. Ayo Rafiel, Ghina salam sama Tante Dewi.” Suruhku kepada kedua adikku.
“Aduh, sudah besar kalian ya. Tante pangling1. Terakhir lihat, kayaknya waktu pemakaman Papah sama Mamah kalian. Hehehe, ayo masuk! Tante sudah menyiapkan makanan buat kalian. Kalian lapar kan?” Goda Tante Dewi.
“Hehehe, Tante tahu aja. Kami memang lapar. Benar gak?” Sambil menghadap kepada kedua adikku.
“Benar!” Jawab mereka kompak.
--
            Senja telah menghilang, aku mencoba menyusuri sudut-sudut ruang yang pernah aku huni. Tak banyak berubah, hanya sedikit ditambah pernak-pernik oleh Tante Dewi. Aku menantap sudut ruang keluarga ini, tempatku banyak mengahabiskan sore yang tenang sepulang kursus biola. Ayunan bersofa, kursi rotan, dan bantal Doraemon yang menyenangkan. Tempat ini banyak memberiku curahan inspirasi dan kedamaian hati bersama orang-orang yang aku sayangi.
            Aku terus melangkah menuju pintu belakang, melewati meja makan kayu yang selalu kokoh. Tak jauh dari meja makan itu, menghadap utara, berdiri dengan gagah biola bergaris perak lama milik Papah. Terbungkus rapi, seakan menunggu tangan lembut seseorang untuk menyentuhnya. Aku menghampirinya, mengusapnya pelan. Biola ini takkan tegesek lagi apa lagi melantunkan serenada cinta yang indah.
Melihat pun takkan cukup buatku mengungkit kenangan di rumah ini. Tapi seperti ada sesuatu yang kembali mengusik hatiku. Aku ingat nasihat Papah, “Kamu generasi penerus Papah Fajar, Papah yakin kamu akan menjadi pemain biola yang terkenal. Jaga serta adikmu, tetap rendah hati.”
Mengapa kalimat itu berdengung di telingaku Tuhan, setelah sekian lama Papah meninggal.
--
            Nyingggg... dering lembut messenger2 membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan singkat muncul menghiasi ponsel jadulku. Dari seseorang teman lamaku, Denanda.
            Hai Jar, kyaknya bru kmrn kt temu kngn, tp ak udh kngn loh. Hahah :D ak mau ksh info, km jgo maen biola kan. Mau ad festival biola tuh d lapngn kuala. Bkn festival biasa, ni ky ajng cri bkt gt deh, hadiahny lmyan loh, beasiswa sekolah musik di Jepng. Hari minggu bsk, ak tungg d sna, ak jg ikut. 
            Aku senyum bahagia, baru saja nasihat Papah berdengung, sekarang malah Tuhan memberi jalan. Namun aku tercengang, hanya ada waktu satu pekan untuk latihan. Aku bergegas membalas pesan Denanda.
            Haha... ad2 sja km ni, Cma ad wktu satu pekan? Gmn y? Udh lama ak gk latian. Ak usahain dh, smntr km dftrin ak dulu y? Trims infnya.
            Aku harus buktikan kalau aku mampu, aku bisa menjadi apa yang Papah inginkan.
--
            Letih aku hiraukan, semangat dan dukungan Rafiel, Ghina dan Tante Dewi adalah cahaya motivasiku hingga sekarang. Ini hari terakhir aku berlatih keras. Besok akan aku tunjukan seluruh kemampuanku
            Gelap, itulah yang aku lihat saat kubuka jendela kamarku, apakah mentari masih terlelap? Mungkinkah aku bangun terlalu pagi? Atau cuaca yang sedang tak bersahabat? Entahlah, aku tak tahu pasti, yang aku tahu, aku sangat bersemangat pagi ini. Aku bergegas menyiapkan diri, sudah satu pekan aku berlatih biola, kini saatnya bertempur.
            Alunan, demi alunan telah aku goreskan, percaya diri terus aku dirikan, tak peduli ratusan peserta yang lainnya telah siap melenyapkan inginku. Penuh perasaan setiap goresan, aku yakin juri senada denganku. Aku patut dipertimbangkan.
            Eforia seleksi telah berakhir, tiba-tiba hinaan Andi kepada Papah itu kian menjadi ketika memori ingatanku kembali berputar. Serasa berjuta macan menerkam hatiku, mencekikk, manggigit tiada akhir. Sakit sekali.
Sakitnya memang di hati, tapi efeknya menyebar ke seluruh penjuru jasmaniku. Inginku berteriak sekerasnya, menangis sebebasnya. Tapi apa daya, aku tak bisa. Sakit itu hanya dapat membukamku dalam sepi. Andi, aku akan buktikan, Papahku bukan petaka untukmu, batinku.
            Tepuk tangan meriah di berikan seluruh peserta ketika juri membacakan tiga peserta yang akan mendapat beasiswa sekolah musik ke Jepang.
            “Juara 3 jatuh pada peserta nomor 534 atas nama Liyana Fatmawatti.” Ucap salah satu juri perempuan.
            Hatiku semakin tak menentu, pesimis kini semakin menghantui pikiranku.
            “Juara 2 jatuh pada peserta nomor 348 atas nama Denadaa Ulfiana.”
            “Dan ini dia peserta terbaik kita, jatuh pada peserta nomor 245 atas nama Chakra Fajar Exelata.”
            Ya Tuhan, benarkah itu namaku? Tuhan nyatakah ini? Papah, aku ini awal dari usahaku untuk mewujudkan inginmu. Tetap doakan aku Pah, isakku dalam hati.
            Tante Dewi menyambarku dengan pelukkan hangat, ucapan selamat ia bisikan dekat telingaku. Tidak hanya itu, Rafiel dan Ghina pun ikut tersenyum lega. Dan seseorang yang telah mendaftarkan dan menjadi juara bersamaku Denada, dia menangis senang di hadapanku. Kita berdua akan belajar bersama di Jepang.
            Dentuman besar itu kado terindahku, kini aku mulai packing3 untuk mengimba ilmu di negeri orang. Walau aku tak tega meninggalkan kedua adikku bersama Tante Dewi, aku yakin, Tante bisa menjaga Rafiel dan Ghina dengan baik. Aku pun telah berjanji kepada mereka akan membawa oleh-oleh sepulang dari Jepang.
--
            Tiga tahun telah berlalu, kembali aku pijakkan kakiku di Indonesia, membawa berjuta ribu ilmu, namun rendah diri selalu aku terapkan. Oleh-oleh untuk Rafiel dan Ghina tak lupa aku bawa. Lebih bahagiannya lagi, aku telah di terima bekerja di salah satu sekolah menengah internasional untuk mengajar biola klasik. Terima kasih Tuhan, terima kasih Papah. Ini berkat nasihatmu, aku bisa menjadi seperti ini. Aku akan selalu mengembangkan ilmu yang aku dapatkan untuk menjadi pemain biola profesional.
-FIN-
1Heran, hampir tak mengenal
2Pesan singkat, atau biasa disebut sms
3Menyiapkan, mengemas barang-barang

ttd
nurulla_