RSS

Setapak Nasihatmu, Papah


            Cuaca hari ini kayaknya benar-benar tak bersahabat. Tinta hitam pekat terlukis seram di sana. Kabut pun tak berani mendekat, seolah tinta hitam itu akan segera menelannya mentah-mentah. Hanya angin kencang dan petir yang mampu menerjang seramnya lukisan di awan itu.
Seperti aku kini, hanya terdiam melihat fenomena itu di balik tirai jendelaku. Memori 5 tahun silam kembali terputar jelas di otakku. Saat aku, Papah, Mamah, serta kedua adikku akan pergi menjenguk Eyang di luar kota. Hari itu, cuaca serupa dengan hari ini. Awan dengan tinta hitam melekat erat seakan tak ingin keluargaku pergi kemana-mana.
Entah apa yang terjadi, aku tak ingat pastinya. Yang aku tahu saat itu, hanya seorang lelaki tua yang sedang berjalan memikul rumput berteriak keras, “Pak, ada kereta api pak!”. Papah yang sedang berusaha menyalakan mesin mobil enggan mendengar perintah lelaki tua itu. Sedangkan suara kereta itu semakin mendekat. Kedua adikku yang tadinya terlelap tidur, kini menangis ketakutan, dan Mamah dengan gelisah ikut menenangkan kedua adikku.
Di sisi lain, lelaki tua itu kembali berteriak, kali ini teriakannya terlampau keras hingga membuat emosi Papah meledak. Aku tahu betul kodisi Papah, Papah panik dengan kondisi Eyang yang tiba-tiba memburuk, dan kini mobilnya harus mogok di tengah rel kereta api.
“Pak, baiknya Bapak turun saja! Sampai Bapak lemas pun mesin takkan hidup. Kereta sebentar lagi melintas. Selamatkan diri Bapak dan keluarga Bapak!”  Teriak keras lelaki tua itu. Tapi Papah tetap tak menghiraukan ucapan lelaki tua itu. Dan drakkkkk, kereta menghantam keras bagian samping kanan mobil. Mobil kami terseret entah sampai berapa meter. Aku menggenggam erat tangan kedua adikku dan Mamah memeluk kami. Darah ada di mana-mana, hingga mukaku penuh cairan berwarna merah yang ku yakini adalah darah Papah. Hanya itu yang aku ingat, selebihnya hanya bayang-bayang semu yang takku ketahui kebenarannya.
            Tragedi itu membuatku kehilangan Papah dan Mamah. Papah meninggal di tempat, dan Mamah meninggal setelah dibawa ke rumah sakit. Perih dan tak bisa menerima kenyataan saat itu membuatku sangat terpuruk. Inginku menyusul Papah dan Mamah, namun kedua adikku masih membutuhkanku. Itulah yang membuat aku tegar hingga saat ini. Kedua adikku, Rafiel Regaza dan Ghina Regaza kini telah menjadi semangat terbesar di hidupku.
            Kini aku duduk di kelas 3 SMA disalah satu SMA ternama di kota Jakarta, Rafiel kelas 1 SMP, dan Ghina masih duduk di kelas 3 SD. Sekarang aku tinggal bersama Tante, Om beserta Andi anaknya. Om sangat menyayangi kami, apapun yang kami butuhkan pasti terpenuhi. Berbeda dengan halnya Tante dan Andi, mereka serasa tak suka adanya kehadiran kami di celah keluarga kecil mereka.
--
“Fajar, apa yang kamu lakukan di dekat jendela?”
“Gak ada Om, Fajar hanya kangen sama Papah, Mamah. Kangen banget Om. Coba aja Tuhan kasih satu kali lagi buat Fajar ketemu Papah, Mamah. Fajar janji Om, gak akan ngecewain mereka. Fajar ingin sekali melihat mereka tersenyum ke Fajar”. Jawabku sambil meneteskan air mata.
“Om ngerti kok perasaan kamu. Papah, Mamahmu telah tersenyum di sana melihat ketegaranmu dan prestasi-prestasi yang telah kau dapatkan sekarang.” Ucap Om sembari mengelus jilbab yang aku pakai.
“Terima kasih Om, atas segala bantuan Om, Tante dan Andi selama ini. Berkat keluarga Om, Fajar, Rafiel dan Ghina masih bisa menikmati bangku sekolah.”
“Itu sudah jadi kewajiban Om Jar, Om merasa senang membantu kamu dan adik-adikmu. Om sukses seperti ini juga berkat usaha Papahmu yang menyekolahkan Om dulu. Yuk, makan dulu. Semua sudah disiapan sama Tante.”
“Iya Om.” Jawabku sembari melangkah meninggalkan kamar.
--
            Liburan kenaikan kelas kini telah di depan mata, rencananya aku ingin mengajak Rafiel dan Ghina pulang ke rumah yang dulu, kini di tempati oleh Tante Dewi, adik Mamah. Hari ini aku akan mengabarkan kalau aku akan berlibur 2 minggu di sana. aku meraih gagang telepon rumah Om, aku tekan dua belas digit nomor yang menurutku sudah tak asing.
“ Halo, Assalamualaikum. Ma’af siapa?”
“Wangalaikumsalam, alhamdulilah. Ini Fajar Tante. Tante gimana kabarnya? Sehat?”
“Fajar anaknya Kak Devi? Ya ampun, baik Jar. Kamu gimana? Kok gak pernah kasih kabar ke Tante?”
“Aduh Tante, ma’af. Tugas sekolah berjibun banget. Jadi agak susah connectnya. Hehehe.”

“Iya Tante ngerti kok, yang penting kamu jaga diri baik-baik, sama jaga Rafiel dan Ghina. Ada niat mau main ke Bogor gak nih Jar, Tante kangen nih.”
“Iya Tante, Fajar pasti jagain Rafiel sama Ghina. Hehehe, Fajar ngangenin ya? Ada Tante, kayaknya Minggu depan Fajar, Rafiel sama Ghina bakal nginep sekitar 2 mingguan. Siapin aja ya itu makanan yang banyak. Hehe.”
“Ahh, kamu. Masih kaya dulu. Iya Tante siapin makanan yang banyak. Dan siap-siap kamu harus habisin. Karna kalau gak, Tante yang akan habisin kamu! Hehe.”
“Tante, Tante. Fajar cuma punya tulang, daging aja sedikit. Tante doyan? Hehe. Tant, sudah dulu ya, Fajar  hanya kasih kabar Fajar mau ke situ Minggu depan. Oke! Sampai ketemu Minggu depan. Wassalamualaikum.”
“Sip Jar. Wangalaikumsalam.”
--
            Minggu yang dinanti-nanti telah tiba, ternyata rencanaku ke Bogor membuat gempar se-isi rumah. Om ngotot mau mengantarku dan adik-adikku, namun Tante Ratna melarang keras. Ditambah dengan tingkah Andi yang membuat emosiku meledak. Bagaimana tidak, dia membawa nama Papah sebagai sumber petaka di keluarga mereka.
“Heh Andi, gak perlu ya kamu nyebut-nyebut nama Papahku. Papah gak ada hubungannya sama ini semua!” Kataku nyolot
“Apa lo? Inget ya, semenjak bokap lo mati, lo itu jadi tanggungan siapa? Lo jadi tanggungan bokap gue, ngerti! Jadi gak usah deh ya lo berlagak sok suci di sini!”
“Aku ga pernah minta tinggal di sini, Papahmu sendiri yang bawa aku dan adik-adikku masuk ke keluargamu!” Jawabku membela diri.
“Tetap aja lo itu derita gue, adik belagu lo itu, Rafiel, sama adik ingusan lo Ghina sama kayak lo, anak terlantar!”
            Tiba-tiba, plakkkkkkk. Satu tamparan melayang dari tangan kanan Om. Tak berselang lama, plakkkk, satu tamparan kembali di berikan dari tangan hangat Om Henra.
Andi yang merasa kesakitan, memegang pipi kanannya yang memang benar-benar merah. Ia memandangku benci.
“Yah, yang jadi anak Ayah itu Andi atau Fajar sih? Kok Ayah belain Fajar, harusnya Ayah belain Andi, anak Ayah. Mau-maunya Ayah bawa anak terlantar itu ke rumah!” Kata Andi sembari menunjukku.
“Andi! Jaga perkataanmu! Fajar itu kakak keponakanmu, harusnya kamu lebih menghormati dia. Kamu seperti orang tak berpendidikan. Memalukan!” Marah Om Henra.
“Apa? Menghormati? Kakak? Mimpi kali yah aku punya Kakak pembawa sial kaya dia! Mah...! Ini Fajar bikin ulah lagi!” Teriak Andi ke Tante Ratna.
            Tante Ratna langsung turun dari lantai 2 dengan muka judesnya.
“Ada apa lagi ini? Fajar, kamu gak ada bosan-bosannya yah bikin ulah. Tante muak!” Cetus Tante Ratna.
“Fajar gak bikin apa-apa Tante, Fajar hanya gak mau nama Papah dibilang sebagai petaka.” Jawabku tegas.
“Aduh, kamu gak nyadar ya? Gara-gara Papahmu mati, kamu jadi tinggal di sini. Kamu tinggal di sini berarti petaka buat Tante. Jadi Papahmu itu petaka. Maksud?”
Stop Tante, Papah bukan petaka!” Isakku sembari lari ke kamar.
            Om Henra mengejarku, mencoba memegang tanganku. Namun hati kecilku telah cukup hancur didera cacian maki keluarga Om Henra.
“Om minta ma’af Jar. Om tau mereka kelewat batas. Mereka keterlaluan bicara seperti itu. Tapi Om benar-benar tulus membantumu. Om sudah menganggapmu anak.”
“Fajar tahu Om, tapi ada benarnya juga kata Tante Ratna dan Andi, Fajar sama adik-adik Fajar beban buat Om, Fajar akan usahain pindah sekolah Om. Ke Bogor, tinggal sama Tante Dewi. Om bisa bantu surat pindah Fajar, Rafiel sama Ghina. Itu sudah lebih dari cukup. Ma’af Om.”
“Tapi Fajar..., ya sudahlah kalau itu yang terbaik menurutmu. Om akan selesaikan surat pindah sekolahmu beserta adik-adikmu. Tapi besok, Om yang akan nganterin kamu ke Bogor.” Ujar Om sembari tersenyum manis kepadaku.
‘Terima kasih Om, Fajar tak akan melupakan kebaikan Om Henra.” Jawabku sembari membalas senyumnya.
--
            Ini kali pertama aku dan adik-adiku, mengunjungi kota kelahiranku setelah kematian Papah dan Mamah. Rindu akan semua kenangan indah bersama mereka terekam jelas ketika aku menginjakkan kaki di depan rumah yang dulu pernah aku huni. Tak di buat-buat, aku menetesakan air mata di depan kedua adikku. Merekapun merasa bingung, raut wajah mereka mengisyaratkan penuh dengan tanda tanya.
“Kakak kenapa? Kok mendadak menangis?” Tanya Rafiel.
“Ihh, Kakak kok nangis? Takut kucing hitam itu ya?” Sahut Ghina sembari menunjuk kucing hitam di depan matanya.
“Kakak gak kenapa-kenapa sayang. Kakak hanya rindu rumah ini.” Jawabku menghibur diri.
            Setelah 6 kali memencet bell, Tante Dewi baru membukakan pintu. Terdiam ia menatapku. Entah kaget, entah senang, entah sedih. Dia terus memandangku membisu, hingga ia tak dapat membendung luapan air matanya dan memeluk erat tubuh letihku.
“Fajar, ya Tuhan, kamu cantik sekali berbalut jilbab merah. Sungguh menawan, kamu mirip sekali dengan alm.Mamahmu. Ini adik-adikmu Jar?”
“Terima kasih Tante, iya ini Rafiel, terus ini Ghina. Ayo Rafiel, Ghina salam sama Tante Dewi.” Suruhku kepada kedua adikku.
“Aduh, sudah besar kalian ya. Tante pangling1. Terakhir lihat, kayaknya waktu pemakaman Papah sama Mamah kalian. Hehehe, ayo masuk! Tante sudah menyiapkan makanan buat kalian. Kalian lapar kan?” Goda Tante Dewi.
“Hehehe, Tante tahu aja. Kami memang lapar. Benar gak?” Sambil menghadap kepada kedua adikku.
“Benar!” Jawab mereka kompak.
--
            Senja telah menghilang, aku mencoba menyusuri sudut-sudut ruang yang pernah aku huni. Tak banyak berubah, hanya sedikit ditambah pernak-pernik oleh Tante Dewi. Aku menantap sudut ruang keluarga ini, tempatku banyak mengahabiskan sore yang tenang sepulang kursus biola. Ayunan bersofa, kursi rotan, dan bantal Doraemon yang menyenangkan. Tempat ini banyak memberiku curahan inspirasi dan kedamaian hati bersama orang-orang yang aku sayangi.
            Aku terus melangkah menuju pintu belakang, melewati meja makan kayu yang selalu kokoh. Tak jauh dari meja makan itu, menghadap utara, berdiri dengan gagah biola bergaris perak lama milik Papah. Terbungkus rapi, seakan menunggu tangan lembut seseorang untuk menyentuhnya. Aku menghampirinya, mengusapnya pelan. Biola ini takkan tegesek lagi apa lagi melantunkan serenada cinta yang indah.
Melihat pun takkan cukup buatku mengungkit kenangan di rumah ini. Tapi seperti ada sesuatu yang kembali mengusik hatiku. Aku ingat nasihat Papah, “Kamu generasi penerus Papah Fajar, Papah yakin kamu akan menjadi pemain biola yang terkenal. Jaga serta adikmu, tetap rendah hati.”
Mengapa kalimat itu berdengung di telingaku Tuhan, setelah sekian lama Papah meninggal.
--
            Nyingggg... dering lembut messenger2 membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan singkat muncul menghiasi ponsel jadulku. Dari seseorang teman lamaku, Denanda.
            Hai Jar, kyaknya bru kmrn kt temu kngn, tp ak udh kngn loh. Hahah :D ak mau ksh info, km jgo maen biola kan. Mau ad festival biola tuh d lapngn kuala. Bkn festival biasa, ni ky ajng cri bkt gt deh, hadiahny lmyan loh, beasiswa sekolah musik di Jepng. Hari minggu bsk, ak tungg d sna, ak jg ikut. 
            Aku senyum bahagia, baru saja nasihat Papah berdengung, sekarang malah Tuhan memberi jalan. Namun aku tercengang, hanya ada waktu satu pekan untuk latihan. Aku bergegas membalas pesan Denanda.
            Haha... ad2 sja km ni, Cma ad wktu satu pekan? Gmn y? Udh lama ak gk latian. Ak usahain dh, smntr km dftrin ak dulu y? Trims infnya.
            Aku harus buktikan kalau aku mampu, aku bisa menjadi apa yang Papah inginkan.
--
            Letih aku hiraukan, semangat dan dukungan Rafiel, Ghina dan Tante Dewi adalah cahaya motivasiku hingga sekarang. Ini hari terakhir aku berlatih keras. Besok akan aku tunjukan seluruh kemampuanku
            Gelap, itulah yang aku lihat saat kubuka jendela kamarku, apakah mentari masih terlelap? Mungkinkah aku bangun terlalu pagi? Atau cuaca yang sedang tak bersahabat? Entahlah, aku tak tahu pasti, yang aku tahu, aku sangat bersemangat pagi ini. Aku bergegas menyiapkan diri, sudah satu pekan aku berlatih biola, kini saatnya bertempur.
            Alunan, demi alunan telah aku goreskan, percaya diri terus aku dirikan, tak peduli ratusan peserta yang lainnya telah siap melenyapkan inginku. Penuh perasaan setiap goresan, aku yakin juri senada denganku. Aku patut dipertimbangkan.
            Eforia seleksi telah berakhir, tiba-tiba hinaan Andi kepada Papah itu kian menjadi ketika memori ingatanku kembali berputar. Serasa berjuta macan menerkam hatiku, mencekikk, manggigit tiada akhir. Sakit sekali.
Sakitnya memang di hati, tapi efeknya menyebar ke seluruh penjuru jasmaniku. Inginku berteriak sekerasnya, menangis sebebasnya. Tapi apa daya, aku tak bisa. Sakit itu hanya dapat membukamku dalam sepi. Andi, aku akan buktikan, Papahku bukan petaka untukmu, batinku.
            Tepuk tangan meriah di berikan seluruh peserta ketika juri membacakan tiga peserta yang akan mendapat beasiswa sekolah musik ke Jepang.
            “Juara 3 jatuh pada peserta nomor 534 atas nama Liyana Fatmawatti.” Ucap salah satu juri perempuan.
            Hatiku semakin tak menentu, pesimis kini semakin menghantui pikiranku.
            “Juara 2 jatuh pada peserta nomor 348 atas nama Denadaa Ulfiana.”
            “Dan ini dia peserta terbaik kita, jatuh pada peserta nomor 245 atas nama Chakra Fajar Exelata.”
            Ya Tuhan, benarkah itu namaku? Tuhan nyatakah ini? Papah, aku ini awal dari usahaku untuk mewujudkan inginmu. Tetap doakan aku Pah, isakku dalam hati.
            Tante Dewi menyambarku dengan pelukkan hangat, ucapan selamat ia bisikan dekat telingaku. Tidak hanya itu, Rafiel dan Ghina pun ikut tersenyum lega. Dan seseorang yang telah mendaftarkan dan menjadi juara bersamaku Denada, dia menangis senang di hadapanku. Kita berdua akan belajar bersama di Jepang.
            Dentuman besar itu kado terindahku, kini aku mulai packing3 untuk mengimba ilmu di negeri orang. Walau aku tak tega meninggalkan kedua adikku bersama Tante Dewi, aku yakin, Tante bisa menjaga Rafiel dan Ghina dengan baik. Aku pun telah berjanji kepada mereka akan membawa oleh-oleh sepulang dari Jepang.
--
            Tiga tahun telah berlalu, kembali aku pijakkan kakiku di Indonesia, membawa berjuta ribu ilmu, namun rendah diri selalu aku terapkan. Oleh-oleh untuk Rafiel dan Ghina tak lupa aku bawa. Lebih bahagiannya lagi, aku telah di terima bekerja di salah satu sekolah menengah internasional untuk mengajar biola klasik. Terima kasih Tuhan, terima kasih Papah. Ini berkat nasihatmu, aku bisa menjadi seperti ini. Aku akan selalu mengembangkan ilmu yang aku dapatkan untuk menjadi pemain biola profesional.
-FIN-
1Heran, hampir tak mengenal
2Pesan singkat, atau biasa disebut sms
3Menyiapkan, mengemas barang-barang

ttd
nurulla_

0 komentar:

Posting Komentar