RSS

Antara Tasbih dan Salib



Terlihat tiga orang yang sedang duduk bermalas-malasan di sofa, berderet memperhatikan suasana malam yang diselimuti cahaya rembulan. Kak Reza, orang paling dewasa, duduk santai di sebelah adik-adiknya dengan segelas susu di tanganya, Rezi dengan roti sobek di mulutnya, dan Reze dengan semangkok mie ayam yang bertengger manis di pahanya. Mereka sama-sama memandang keluar jendela yang memberikan pemandangan malam. Tak lama, sebuah awan menutupi sinar rembulan, satu-satunya sinar yang menerangi mereka bertiga.

+++

            “Ka Reza, bukankah dia mempesona?” Tanyaku mendadak, sembari memandangi sebuah foto di tanganku.
            “Kamu tetap akan memaksaku untuk percaya? Itu hanya foto yang bisa saja direkayasa, Reze.” Jawab seseorang yang duduk di sebelahku, tak lain adalah Kakakku, Kak Reza, dia menjawab dengan nada malas.
            “Ya, aku paham betul. Kau pasti tak ingin mengakui betapa ia begitu menawan, karena kau takut tersaingi olehnya.” Kataku meledek.
            “Hahaha, ya, aku setuju denganmu Ze, Kakak tak ingin mengakuinya karena dia lebih tampan dari Kakak.” Sahut Rezi, Kakakku yang lain, yang tengah duduk di sebelahku.
            “Kalian berdua ini bersekongkol. Besok akan kubawa kalian ke dokter mata!” Jawabnya dengan nada santai, tapi tak aku pungkiri terselip nada ketus di dalamnya.
            Rezi berdiri, berjalan mengambil ponselnya yang terletak di meja telephone. Lalu memutar lagu galau, yang semakin mengacaukan hatiku. Lirik demi lirik menghujam hatiku.
Tergambar jelas sorot matanya yang penuh intimidasi, di anganku. Sorot mata seseorang yang tengah aku pikirkan. Larangan untuk berpacaran selalu terngiang di benakku. Bunda yang tidak setuju jikalau aku berpacaran, Beliau selalu beranggapan bahwa di Agama Islam tidak pernah mengenal istilah berpacaran.
            “Kak, jikalau suatu saat nanti aku menikah dengan orang yang berbeda keyakinan, apakah itu sebuah dosa?” Tanyaku tiba-tiba menghentikan kegiatan minum susu Kakakku yang paling besar.
            Dosa Ze, di Al-Qur’an pun dijelaskan demikian. Agar kelak pasanganmu bisa menjadi imam yang baik bagimu. Kenapa kau bertanya demikian? Apakah seseorang yang kau sukai sekarang berbeda keyakinan dengan kita?” Jawab Kak Reza panjang lebar disertai tatapan tajam.
            “Mmm, ia Kak.” Jawabku jujur
            “Siapa? Berusahalah mencari laki-laki yang berkeyakinan sama denganmu. Itu pesan Kakak.” Katanya santai tapi dengan syarat tegas.
            Aku tak menjawab lagi. Diam, hanya itu yang bisa aku lakukan, merasa bersalah akan perasaanku. Haruskah aku hilangkan perasaan ini? Atau mungkin aku harus membohongi diriku sendiri karena perasaan ini? Berdosakah diriku ya Tuhan?
+++
Esok pun tiba, aku berangkat menuju halte bus. Lama menunggu, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti di hadapanku. Natan teman sekolahku, yang mungkin bisa dikatakan berlebihan’ untuk seorang anak SMA, mengendarai sebuah mobil mewah dan melintasi halte tempatku berdiri. Semua mata pengunjung halte tertuju padanya, termasuk aku pun memandangnya. Kagum. Terpesona. Ya, ku akui pesonanya yang luar biasa telah kembali menghipnotisku. Pancaran matanya sungguh membuatku menunduk malu. Namun aku tersentak ketika nasehat Kakakku terngiang di pikiranku. Rasa gelisah itu muncul kemudian. Ya, Natan, dialah orang yang kusuka, anak laki-laki yang berbeda keyakinan denganku.
+++
Aku memang bukan seorang gadis yang feminim. Aku tidak terlalu memperhatikan fashion yang lagi booming, melakukan perawatan kuku di sebuah salon, dan lain sebagainya. Namun aku tak pernah suka, bila ada teman sekolahku yang mengatai diriku tomboy. Miris rasanya, bila ada yang mengatakan aku tak normal.
            Entah darimana, mereka yang nota bene adalah siswa yang tidak menyukaiku, tahu bahwa aku ini adalah seorang phobia sayur, yah mau bagaimana lagi, aku sangat benci dan takut dengan sayuran yang bernama Genjer. Mereka melemparku dengan sayuran itu. Takut, takut karena memang aku seorang phobia. Benci, benci karena aku tak bisa melakukan apa–apa. Setelah mereka puas, mereka meninggalkanku yang tengah menangis sendirian.
Aku menuju tempat dudukku, tempat duduk si phobia sayur yang terdapat di pojokkan kelas, aku yang terlalu sibuk menjauhkan benda laknat yang bernama Genjer dari tubuhku, tak menyadari seseorang yang tengah menuju ke arahku, dia datang memberi sehelai sapu tangan berwarna putih bersih.
            Hei, usaplah air matamu itu, mereka tak berniat membuatmu menangis, sungguh. Ada permintaan ma’af dari Muri dan yang lainnya.” Kata Natan meninggalkanku yang mematung karena terkejut.
            Hatiku berbunga, senang rasanya saat mendengar kata–katanya, saat ia memberikan sehelai sapu tangan untukku. Meja dan bangku tempatku duduk adalah saksi bisu atas kejadian ini. Seakan berada di negeri dongeng, dan aku berperan sebagai Putri kerajaan yang dijemput oleh sang Pangeran saat kesedihan melandaku.
Perasaan itu kian menjadi saat kejadian itu aku ceritakan kepada Kakak. Ia hanya memandangku sinis. Dan memberikan senyum meremehkan yang biasa ia tujukan kepada seorang looser. Tapi itu tak membuatku sedih, mungkin Kakak kurang suka aku dekat dengan Natan, orang yang berbeda keyakinan dengan kami.
+++
            Gelap, itulah yang aku lihat saat kubuka jendela kamarku, apakah fajar masih terlelap? Mungkinkah aku bangun terlalu pagi? Atau cuaca yang sedang tak bersahabat? Entahlah, aku tak tahu pasti, yang kutahu, aku sangat bersemangat pagi ini. Karena akan aku kembalikan sapu tangan milik Natan yang telah kucuci sampai bersih kemarin.
            Langkah demi langkah ku berjalan, pelan tapi pasti. Aku berangkat terlalu awal hari ini. Namun ada seorang siswa yang telah hadir di kelasku, duduk menyendiri. Diam dengan berbalut jaket putih dan memegang suatu benda. Salib, ya begitu kami menyebutnya. Benda berlambang plus yang bagian bawahnya lebih panjang itu, ia pegang erat sembari mengucap kata-kata yang akupun tak bisa mendengarnya. Setelah itu ia cium salib tersebut di genggamannya, lalu membiarkannya menggantung di leher jenjangnya.
Ya, itu Natan. Mungkin ia sedang ada masalah sehingga berangkat lebih awal, tapi entahlah, aku tidak mau menduga–duga hal tersebut. Aku langkahkan kakiku menuju tempatku duduk. Tak berapa lama, kuberanikan untuk menyapanya terlebih dulu.

            “Hai, tak seperti biasanya kau berangkat sepagi ini.” Kataku menyapa disertai senyum canggung di bibirku.
            “Tak bolehkah aku berangkat sepagi ini? Apakah kau keberatan dengan hal itu?” Jawabnya terlihat tersinggung.
            “Bukan begitu maksudku, ma’af jika kau tersinggung. Aku ingin mengembalikan sapu tanganmu. Terima kasih ya.” Kataku sembari memberikan sapu tangan berwarna putih milik Natan.
            “Aku tak tersinggung. Dan ya, sama-sama.” Jawabnya dingin sama sekali menghiraukanku.
            “Tan, aku boleh tanya? Kenapa kau selalu menggantungkan salib di lehermu? Jangan marah ya, aku hanya penasaran.” Tanyaku ragu-ragu akan pertanyaanku.
            “Oh ini. Ini salib pemberian Mamaku, Ze. Baguskan, penuh ukiran khas Yunani disetiap sisinya.” Jawabnya dengan mimik muka bahagia saat membicarakan seorang yang dia sebut dengan Mama, tapi tatapannya penuh akan syarat kesedihan, ingin kukatakan bagi saja kesedihanmu padaku, tapi aku tak mempunyai hak untuk itu.
            “Unik, pasti mahal. Mukamu mendadak sedih? Kenapa?” Tanyaku penasaran lagi, entah kenapa Natan selalu mebuatku penasaran.
            “Ini pemberian Mamaku satu tahun yang lalu. Saat aku ulang tahun Ze, tapi sepulang acara tersebut beliau tiba-tiba terkena serangan jatung. Dan beliau tak bisa ditolong.” Jawabnya sambil menundukan kepalanya, kulihat ia meremas tangannya dengan kuat, sesaat kulihat punggungnya terguncang menahan sedih.
            “Ma’af Tan, aku tak tahu akan hal itu. Ku harap kau tabah. Tuhan pasti telah memberi posisi terbaik untuk Mamamu.” Sahutku memberi semangat, ya hanya itu yang bisa kulakukan untuk saat ini, memberinya semangat dan semangat.
            “Terima kasih Ze, aku bersyukur mempunyai teman sepertimu.” Jawabnya pelan dengan menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya.
            Kata-katanya sangat mengena di hati. Diriku bak kumbang yang terbang gembira setelah mendapat banyak madu. Perasaan itu bertambah dan terus bertambah.
+++
            Semakin dalam kini perasaan itu, dalam sampai–sampai membuatku sulit mengabaikannya. Aku tak dapat memilikinya, perbedaan keyakinan itu menjadi masalah utama dan selalu menghantuiku.
Susah mengungkap semua rasa di hatiku. Sedih, cinta, sayang, bahkan benci, aku rasakan dalam hati ini. Tuhan ku mohon, hilangkan perasaan ini. Aku tak dapat menahannya lebih lama lagi.
+++
            Esok harinya aku berangkat lebih awal lagi. Berharap bisa bercerita dengan Natan. Terkejut, ya terkejut yang kudapatkan saat kakiku melangkah memasuki kelas, harapanku pupus ketika Natan duduk berdua dengan salah satu teman kelasku. Tombak tajam serasa menusuk jantungku. Kakiku lemas ketika sebuah adegan yang mereka lakukan dengan mudahnya di depan mataku. Ya, ciuman yang telah meruntuhkan perasaanku terhadapnya. Aku yakin mereka menyadari kehadiranku. Namun entah mengapa mereka tak memperdulikanku, menganggapku sebagai angin lalu. Pergi berlari adalah jalan terbaik saat itu. Berlari entah kemana, mendustai semua yang ku lihat hanyalah mimpi. Dan pahitnya itu tak dapat dipungkiri. Itu nyata dan membuatku patah hati.
+++
            Muka sinis aku pasang saat ku masuk kelas, tatapan tajam penghuni kelas ku balas dengan senyuman sindiran. Terutama kepada Natan. Entah kenapa aku tega berbuat ini, seharusnya aku bersikap biasa saja, lagi pula aku bukan siapa-siapanya Natan. Mungkin itu bentuk dari rasa kecewaku. Seorang pria yang kurasa telah berfikir dewasa ternyata melakukan hal serendah itu bersama temanku.

            “Ze, lagi dapet ya, kayanya lagi sensitif nih?” Tanya Natan sedikit mengajakku bergurau.
            Ya, kurang lebih seperti itu.” Jawabku dingin, dan segera berlalu dihadapannya.

Aku bisa melihat muka kecewa yang terpatri diwajahnya. Aku tak dapat berlama-lama berada dekat dengannya. Ingatanku pagi lalu masih terekam jelas di otaku. Dan itu sangat memuakkan.
+++
 Tertunduk merenung di dekat jendela kamar, diam tanpa kata menurutku itu adalah hal yang lebih baik. Namun hal ini membuat dadaku sesak. Dan akhirnya aku tak dapat menahan air mata agar tak turun. Semakin deras, tak dapat dibendung. Isak tangisku terdengar hingga luar kamar. Tiba-tiba Kakak masuk tanpa mengetuk pintu yang sontak mengagetkanku.
“Kamu kenapa lagi? Biar Kakak tebak, masalah laki-laki lagi? Kakakkan sudah mengingatkanmu, jangan pikirkan dia. Dia berbeda keyakinan dangan kita. Sudah jangan kau ingat dia lagi. Dia hanya membuatmu terpuruk. Mengerti?” Kata Kakak lembut, tangannya yang lembut mengacak rambutku.
“Iya, Reze mengerti Kak. Kita memang berbeda keyakinan dengannya. Sangat jauh berbeda. Namun salahkah aku mencintainya Kak? Ini manusiawi kan Kak? Aku mencintainnya sebagai perempuan normal yang menyukai laki-laki pada umumnya.” Jawabku membela diri, kembali air mata turun dari kedua bola mata yang bertengger diwajahku.
“Iya, kamu tak salah Ze, Kakak mengerti perasaanmu. Tapi Kakak tak ingin kau terus berharap banyak darinya. Kita ini umat muslim, sedangkan dia adalah seorang kristian. Kamu harus ingat, Bunda tak mungkin mengijinkan kau berpacaran pada umurmu saat ini, apalagi laki–laki itu adalah seorang kristian. Sudah, hapus air matamu. Sekarang tidurlah, tak berguna merenungi nasib terus menerus.” Katanya menenangkanku.
Sudah lebih dari satu jam aku berbaring. Namun tak sedikit pun aku merasa kantuk. Rasa sesak yang tadi ku rasakan pun telah berkurang. Jauh lebih nyaman dan tentram sekarang.
+++
            Berjalan dengan santai seakan tak terjadi apapun akan ku lakukan hari ini. Pemanasan tersenyum sudah, latihan tertawa sudah. Namun masih terihat ada keterpaksaan. Ya Allah, bagaimana ini? Aku telah berusaha merubah semuannya. Semoga Engkau meridoi niat baikku.
            Tepat pukul tujuh aku masuk kelas. Sengaja hal ini aku lakukan agar tak ada yang melihatku dengan tatapan penuh tanda tanya seperti kemarin. Namun lirik mataku tak kuasa menahan pandangan ke Natan. Natan yang mungkin merasa ada yang memperhatikan pun akhirnya melihat kearahku dan memberi sedikit senyum manis. Aku pun dengan berat membalas senyumnya. Demikian seterusnya jika aku bertemu Natan. Hampir tak pernah ada percakapan yang berarti antara kami berdua.
+++
            Bulan Februari kini sudah menanti, bulan yang katanya penuh kasih sayang serasa biasa saja, menurutku, tak ada yang istimewa, sama saja. Tak ada cokelat, dan tak ada orang terkasih di dekatku.
Miris rasanya waktu aku membeli minyak disalah satu swalayan dekat rumah. Tersedia satu potong cokelat dan satu paket alat kontrasepsi, yang bertuliskanHappy Valentine”.
Apa yang ada di fikiranku benar-benar tak waras. Semua orang yang masuk swalayan melihat hal tersebut tanpa tak terjadi masalah. Aku pun merasa curiga ketika seorang laki–laki berseragam putih abu–abu membeli paket tersebut. Sungguh aku tak berniat suuzon, namun memang wajar kalau aku curiga, karena ia berseragam SMA lengkap.
Dan keterlaluannya ada seorang wanita yang menunggunya, duduk di atas motor. Berjilbab, namun seragam yang dia kenakan terlalu ketat, sampai memperlihatkan lekuk tubuhnya. Akhirnya ada bagian-bagian tertentu yang harusnya tertutup malah terbuka. Na’udzubillahhimindzalik sama sekali tak patut contoh untuk ditiru.

            Seorang pelayan membuyarkan pandanganku. Ia bertanya kenapa aku hanya terdiam melihat sepasang kekasih membeli paket “Happy Valentine”. Aku hanya menjawab ringan, bahwa hal itu tak lazim dilakukan oleh siswa SMA.
Sang pelayan hanya tersenyum tersindir. Dia memperlihatkan bonus dari minyak yang kuberi. Sebuah tasbih indah. Aku memilih warna merah sesuai jilbab yang tengah kukenakan.

            “Terima kasih Mas.” Kataku kalem.
            “Sama-sama Mba, silahkan kunjungi kami lagi dilain waktu, promo berlaku hingga akhir Maret.” Kata sang pelayan menawarkan salah satu promo yang berlaku di tokonya.
+++
            Tasbih yang aku dapat dari hadiah minyak serasa mempengaruhi hidupku. Setiap aku berdo’a selalu ku genggam. Kemana pun aku pergi tasbih tersebut ku ikat di pergelangan tanganku. Indah, bersinar dan mempesona. Cahaya pantulan tasbih mengundang perhatian seluruh teman sekelas

            “Mewah sekali tasbihmu Ze? Beli dimana? Aku tertarik.” Kata teman sebangku- ku.
            “Ini hadiah minyak goreng, promosi Valentine Day.” Jawabku singkat.

            Mungkin gara-gara pesona tasbihku, teman-teman jadi membeli minyak goreng seperti diriku. Namun entah mengapa tasbihku itu berbeda, lebih cantik dan mempesona.
+++
Sepertinya fajar menyingsing lebih awal, aroma sedap masakan Bunda memenuhi ruangan. Aku yang kebetulan kedatangan tamu bulanan enggan untuk bangun dan tersenyum ke sang mentari. Tiba-tiba poselku berdering, nama Natan tertera di layar ponsel, tak heran dia mempunyai nomor handphone-ku, karena ia seorang ketua kelas.

“Halo, selamat pagi.” Natan menyapaku ketika ku mengangkat teleponnya.
“Selamat pagi, ada apa Tan? Pagi-pagi sudah menghubungiku?” Jawabku langsung tanpa basa-basi.
“Selasa malam ada acara tidak? Aku ingin mengajakmu makan malam bersama. Papa sedang berada di luar kota, aku ingin merayakan valentine bersamamu. Apakah kau ada waktu Ze?” ajaknya dari saluran telepon. 
“ Ya nanti ku usahakan. Sudah dulu ya Tan. Selamat pagi.” Jawabku malas, enggan berlama-lama berbincang dengan Natan.

Ya Allah Reze, kenapa kamu kasih harapan kosong ke Natan. Kamu muslim Ze, muslim. Kamu tak seharusnya merayakan Valentine Day. Apakah kau sudah gila? Akankah kau mengukir dosa sekali lagi, setelah perasaanmu itu? Ingat, tak ada kata Valentine Day di dalam Al-Qur’an.

Selesai mandi aku langsung menuju kamar Kakak tertuaku. Menceritakan semuanya, dan sekaligus meminta saran.
Dan tak seperti biasa. Kali ini Kakak benar-benar memberi pilihan. Pilih tasbih atau salib. Dengan kata lain aku harus memilih agamaku atau agamanya. Dengan tegas aku katakan, aku memilih agamaku. Islam akan tetap bersemayan di hatiku. Dan aku pun telah siap untuk melupakannya. Cintaku akan aku lepaskan dengan ikhlas. Ini akan membuatku jauh lebih bahagia di hari esok.
+++
            Kuputuskan untuk menghubungi Natan setelah percakapanku dengan Kakakku.

            “Halo, assalamualaikum. Selamat pagi.”
            “Selamat pagi, ada apa Tan”
            “Ma’af Tan, nanti malam aku tak bisa menemanimu merayakan hari valentine. Kamu bisa mengajak yang lain. Ma’af ya sekali lagi.
            “Kenapa Tan? Apa kamu memiliki janji?”
            “Oh, tidak ada Tan. Tetapi aku ini seorang muslim Tan, di Agama-ku tak terdapat istilah Valentine Day. Bukan karena aku sudah mempunyai janji atau belum. Tetapi semua ini kulakukan untuk kebaikanku. Kamu kristian dan aku muslim. Aku berbeda denganmu.”
            “Apa yang salah dengan itu?”
            “Tak ada yang salah dengan itu Tan. Agamaku adalah agamaku. Agamamu adalah agamamu. Tetaplah berpegang pada kayakinan kita masing-masing. Aku tak ingin terus larut dan mengharap bisa ada di hatimu. Ma’af.”
            “Iya, aku mengerti. Kita memang berbeda keyakinan. Namun apakah kita masih bisa berteman?”
            “Tentu, kita masih bisa berteman. Sudah dulu ya. Wassalamualaikum, sampai berjumpa besok Tan.”
            “Iya.”

            Setelah berbincang dengan Natan, hatiku tenang. Damai serasa mengalir di tubuhku. Alhamdulilah Allah menerangi jalanku. Semua kegelisahanku hilang seketika.
+++
            Sebulan setelah Valentine Day, aku bertemu sosok yang sangat mirip dengannya, Natan.
Senyumnya, gerak-geriknya, bahkan sifatnya sangat mirip dengan Natan. Namun berbeda dengan Natan, dia seorang muslim. Putra namanya.
Aku mengenalnya seminggu setelah ia pindah rumah ke komplek perumahan yang kutinggali.
Allah memang maha adil, Ia mengirim Putra untuk menggantikan posisi Natan di hatiku. Lebih taat dan memeluk keyakinan yang sama denganku.

NN