Langit sangat tidak bersahabat pagi ini. Tinta hitam seakan
telah terlukis di celah-celah awan biru yang membentang. Mengerikan, namun
tinta hitam itu belum ada apa-apanya dengan rumah yang kini aku tempati. Rumah
baruku ini, sangat hening, seakan tak ada suara yang bisa terdengar, gelap,
suram, pokoknya rumah ini ibarat tempat pembantaian orang-orang tak berdosa,
hawanya itu dingin lembab gimana gitu.
Aku,
sekeluarga baru saja pindah ke rumah baru di kawasan sekitar kebun teh di
Bandung. Sebenarnya ini bukan rumah baru, lebih tepatnya rumah yang sudah di
jual keluarga korban perampokan tahun lalu. Kamu tahu? Semua penghuni rumah
tewas dengan keadaan mengenaskan. Kepalanya dipenggal, kemudian raganya disayat
bagaikan bongkahan daging, katanya si..ada indikasi balas dendam. Namun
anehnya, sampai sekarang sang pelaku perampokan belum diketahui dimana dan
seperti apa keadannya. Saksi dan buktipun tak ada. Ibarat angin yang lewat begitu
saja.
Awalnya,
saat mengetahui informasi asal-usul rumah itu, ibuku sempat tak setuju. Namun
mau bagaimana lagi? Ayah dan ibuku dipindah kerjakaan di sini, di sekitar
tempat seram ini. Maklum ibuku seorang bidan, dan ayahku seorang dokter.
Terlebih aku, aku yang memang punya kelebihan alamiah yaitu memiliki
mata ketiga, sangat tidak setuju harus pindah ke rumah yang cerita asal-usulnya
tak jelas seperti itu. Bukannya tak lucu, jikalau tiba-tiba saat sedang
beraktivitas ada sosok yang dalam tanda kutipnya tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang muncul dengan tanpa dosanya di depanku?
Akhir-akhir
ini, hal itu bagai rutinitas setiap hari. Suara orang menjerit, suara gesekan
jendela, suara orang berjalan, sampai suara orang menangis di atas lonteng. Dan
itu terjadi setiap jam 00.00 pas. Sampai akhirnya aku harus mengatakan ketakutanku
kepada ayah dan ibuku.
“Bu,
Reza rasa ada yang gak beres dengan rumah ini, ibu pernah dengar gak suara anak
kecil nangis di lonteng tiap malam? Suara orang berjalan menaiki tangga di
sudut situ?” Tanyaku sembari menunjuk lorong yang menuju tangga di lonteng.
“Ah
enggak deh Za, kayaknya kamu terlalu banyak nonton film horor nih. Ibu enggak
pernah dengar apapun. Ibu fine fine
aja deh dengan rumah ini, dingin gimana gitu.” Bantah ibu.
“Ih,
reza serius bu, tiap malam Reza dengar suara itu dengan jelas kok. Sumpah deh.”
“Kamu
ngayal kali, itu Cuma halusinasi kamu aja Za, udah dibilangin juga gak usah
nonton film setan udah tahu penakut juga.” Jawab ibu enteng sembari menulis
sesuatu.
“Kalau
Reza masuk ke lonteng itu gimana bu? Sebenarnya itu pintu lonteng ada kuncinya
gak sih? Horor bener deh kalau diliat.” Tanyaku sembarang.
Ibu langsung mendekatiku, dan melihatku dengan seksama.
“Reza,
kamu gak ibu izinin masuk ke lonteng itu. Jangan coba-coba ya kamu. Berbahaya!
Dulu waktu ayah membeli rumah ini, keluarga korban kasih wejangan biar kita
sekeluarga jangan ada yang sampai masuk ke sana.” Ucap ibu yang mendadak horor
sembari menunjuk ke lonteng.
Usai
ibu memberi tahuku tentang larangan memasuki lonteng itu, aku bukannya takut
malah lebih penasaran. Malam harinya aku melakukan sebuah perjalanan di bawah
kendali mata batinku, astral projection.
Ya aku melakukan astral projection,
sebuah perjalanan dengan merenggang jiwa ke alam lain. Sudah lama aku tak
melakukannya, karena ini berbahaya. Ragaku akan kosong selama jiwaku melakukan
sebuah perjalanan, dan otomatis roh-roh yang ingin hidup kembali akan
berlomba-lomba mendekati bahkan memasuki ragaku yang kosong itu. Walaupun aku
tahu, resikonya sangat fatal yaitu aku bisa tersesat di alam lain dan tak dapat
kembali ke alam nyata.
Aku
sudah siap. Kubaringakan badanku dengan lemas, ku tarik nafas perlahan kemudian
aku keluarkan udara dari mulut sebanyak tiga kali. Dadaku serasa mau meledak,
gelisah tak menentu. Namun itu semua sirna ketika aku dapat melihat diriku
tertidur di atas ranjang biru tua.
Suasananya
berbeda, lebih dingin, lebih lembab, lebih menyeramkan, dan tercium seperti bau
amis darah. Aku mulai menaiki tangga menuju lonteng itu. Lorong menuju ke sana
sangatlah gelap, aku tidak bisa melihat apapun. Perlahan tapi pasti, saat
tangga terakhir aku injak, seperti ada sinar berwarna merah terang terpancar
dari pintu lonteng tersebut. Aku meraba gagang pintu lonteng itu. Panas,
seperti di dalam sana terjadi kebakaran. Namun sial, ketika pintu telah
terbuka. Satu demi satu kejadian masa lalu yang mengerikan itu terlihat di
mataku, jelas dan sangat jelas.
Aku
hanya mematung melihat tragedi yang menurutku itu lebih mirip dengan aksi
saling membunuh satu sama lain. Mereka keluarga, aku pernah melihat foto mereka
yang pernah terpajang di ruang tamu, namun sekarang sudah diganti dengan fotoku
bersama ayah dan ibu.
Awalnya mereka sibuk membiacarakan suatu hal, yang jujur aku
sama sekali tak bisa mendengarnya, dilanjutkan dengan sang bapak mengambil
sebuah kapak, kapak itu masih berkilau seakan ingin dilayangkan ke leher
manusia. Sang ibu mengambil silet, dan kedua anaknya hanya terdiam tak mengerti
apa yang akan kedua orang tuanya lakukan.
Sang ibu dengan santainya mulai menyayat-nyayat bagian
tubuhnya, mulai dari tangan, kaki, badan hingga paras cantiknya, terlihat
tetesan air keluar dari mata sipit sang ibu. Ia melanjutkan ke anak laki-laki,
dengan kasarnya ia mencekram tangan sang anak, lalu menyayat sangat dalam
hingga darah segar hinggap dengan indahnya ke barang-barang kuno atas lonteng.
Sang anak menjerit, meronta, dia telah kehilangan banyak darah.
Di lain tempat sang bapak yang telah menghabisi anak
perempuannya, dia memungkas habis kepala sang anak kemudian menarik raganya
menaiki tangga. Suara gesekan langkah itu, suara itu yang biasa aku dengar.
Persis, malah lebih menyeramkan ini.
Sang bapak mendekati sang ibu yang sedang memangku mayat
anak laki-lakinya yang kekurangan darah. Dan Sepucuk surat tertulis dengan
darah.
“SETIAP TANGGAL 14 APRIL, SIAPAPUN YANG MASUK KE LONTENG INI HARUS
MERASAKAN KESEDIHAN YANG KELUARGA ALAMI. MATI DALAM SEBUAH TRAGEDI”
Tanpa pikir panjang, sang bapak langsung memenggal kepala istrinya
yang telah terbujur lemas kerena kekurangan darah dan akhirnya memenggal
kepalnya sendiri.
Aku
ketakutan, aku berlari kencang menuju kamarku, menuju ragaku berada. Dan
ternyata di samping ragaku telah terdapat sosok sang bapak yang ada di atas
lonteng. Dengan tarikan nafas pertama, kubantingkan jiwaku di atas ragaku itu.
Dan aku selamat, aku terbangun ketika jam dinding menunjukan pukul 00.20 menit.
Aku hanya tertidur sekitar 25 menit untuk menyaksikan sebuah tragedi
mengenaskan yang entah apa sebabnya. Aku penasaran, besok tanggal 14, dan apa
yang akan terjadi??
Esoknya,
mendadak ibu menyuruh seorang tetangga yang notabene adalah kuli bangunan untuk
mengosongkan isi loteng. Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran ibu yang
melarangku menaiki loteng itu, sedangkan orang lain diizinkan. Sekian lama si
tukang membersihkan isi loteng itu, tak terjadi apapun. Ia masih sempat turun
mengambil kapak yang katanya untuk membuka sebuah loker. Kemudian mengambil
silet entah buat apa. Dan ia pun sempat mengambil kopi dan cemilan yang
disajikan ibu di ruang tamu.
Namun, lima
jam setelah itu. Si tukang, tidak turun-turun, lima jam itu waktu yang sangat
lama untuk membersihkan loteng. Ibu mulai cemas, dan menyusul ke atas. Dan apa
yang terjadi? Kepala sang tukang sudah putus, dan tubuhnya penuh dengan sayatan
yang tak wajar. Ibu langsung menelfon ayah, kemudian melapor ke polisi. Semua
tragedi yang aku lihat semalam itu fix
jadi kenyataan.
Saat ayah
datang, polisi langsung melakukan olah TKP. Saat itu aku menceritakan semua
yang aku lihat saat aku melakukan astral projection.
Ayahku pecaya, karena beliau juga dapat melakukan hal yang aku lakukan. Bahkan
ini adalah kelebihan alamiah yang aku dapat dari ayah.
Tanggal 14,
ya tanggal 14. Setiap tanggal itu, penghuni asli rumah ini akan merenggang
korban di lonteng itu. Di lonteng keramat dan kusut itu. Entah siapa yang akan
menjadi korban berikutnya. Yang pasti bukan aku, atau keluargaku. Ayah
memutuskan pindah ke sebuah perumahan yang lebih dekat dengan kantornya
bekerja. Dan aku, aku lebih lega telah meninggalkan rumah itu.
NN
0 komentar:
Posting Komentar